Petani Sawit Rugi, APPKSI Desak Jokowi Hapus Pungutan Ekspor CPO, DMO, dan DPO

7 Juli 2022, 17:14 WIB
Ilustrasi petani sawit di Provinsi Riau /mediacenter.riau.go.id/

JURNAL MEDAN - Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) Arief Poyuono meminta Presiden Jokowi menghapus pungutan ekspor CPO.

Arief Poyuono mengatakan pungutan ekspo CPO yang mencapai 55 persen dari harga Ekspor CPO telah membebani petani sawit.

Ia menilai pungutan ekspor itu tidak perlu lagi mensubsidi industri biodiesel karena harga CPO sudah lebih mahal dari Crude Oil (minyak fosil).

Baca Juga: Harga TBS Sawit Turun Rp1700 Menjelang Lebaran Idul Fitri 2022, Petani Kelapa Sawit di Sorkam Menjerit

Dalam keterangannya Arief juga menyinggung soal tata kelola CPO dan turunannya telah menyebabkan nasib para petani plasma sawit yang jumlahnya puluhan juta menderita.

Sementara stakeholder industry sawit makin tidak jelas keberlangsungannya dalam mencari penghidupan dari sektor industry sawit di negara yang menjadi penghasil CPO terbesar di dunia.

"DMO dan DPO harus dicabut karena mempersulit ekspor CPO yang mana akhirnya menyebabkan over stock di tangki-tangki penimbunan CPO di pabrik pabrik kelapa sawit," ujar Arif Poyuono dalam keterangan yang diterima Jurnal Medan, Kamis, 7 Juli 2022.

Arief menjelaskan, semua kebijakan ini memberatkan kehidupan petani sawit karena pungutan ekspor CPO yang mencapai 55% dan aturan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).

Baca Juga: Kebun Sawit Saksi Bisu Perkosaan Bergilir 5 Pemuda Terhadap Seorang Siswi SMP di Serdang Bedagai

"Minyak kelapa sawit negara ini menyumbang sekitar 60% dari produksi minyak global, dan komoditas ekspor utama ini menghasilkan pendapatan negara sebesar USD20 miliar pada tahun 2020," jelas Arief.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), kata Arief, menilai produksi lokal minyak sawit mentah (CPO) telah berkurang tahun-ke-tahun dari 2020 hingga 2021. Bahkan ketika permintaan global terus meningkat.

Hal ini memastikan kenaikan harga CPO global, yang positif bagi posisi transaksi berjalan Indonesia dan eksportir komoditas.

Kenaikan harga CPO saat ini disebabkan banyaknya hambatan yang dihadapi industri antara lain pandemi Covid-19, kekurangan tenaga kerja, musim hujan, banjir.

Baca Juga: Gede Pasek Sebut Hanya Duren Sawit yang Pernah Kalahkan Cikeas: Moeldoko Tak Mungkin?

"Ini semua merupakan tantangan bagi pekebun kecil dan produsen korporat," jelasnya.

Musim hujan juga menyebabkan perkebunan menghadapi gulma yang ditumbuhi rumput liar sehingga butuh lebih banyak tenaga kerja dan bahan kimia untuk menjaga tanaman.

Selain itu, pohon kelapa sawit tumbuh lebih tinggi dari tahun ke tahun, yang akan membatasi produksi TBS.

Pekebun perlu memanfaatkan harga CPO yang tinggi saat ini untuk mengumpulkan dana untuk sanitasi lokasi dan kegiatan penanaman kembali di masa depan.

Baca Juga: Bikin Pangling! Ria Ricis Terpesona Lihat Jeje TikTok Pakai Hijab Hingga Menyanyikan Lagu Sholawatan

"Malaysia yang memasok 25% dari produksi global, tidak mampu mengisi celah yang tersisa dari larangan ekspor Indonesia; karena negara itu masih menghadapi kekurangan tenaga kerja yang parah akibat pembatasan pandemi."

Kemudian Rusia dan Ukraina menyumbang 80% dari pasar minyak bunga matahari global, yang sudah merupakan penurunan mendadak dalam pasokan minyak nabati global karena perang yang sedang berlangsung.

Menurut Arief, larangan ekspor Indonesia adalah untuk mengurangi kenaikan harga pangan lokal dan untuk memadamkan kerusuhan lokal.

Namun, strategi jangka pendek bisa membawa lebih banyak kerugian daripada kebaikan dalam skala yang lebih besar.

Baca Juga: Ria Ricis Bungkus Jeje TikTok Pakai Hijab, Sampai Dibikin Nyanyi Sholawat Nabi Muhammad SAW

Dalam jangka panjang, menurut Arief, produsen Indonesia tidak akan mampu lagi menjalankan bisnis perkebunan secara berkelanjutan.

Petani sawit juga tidak mampu membeli pupuk dengan biaya lebih tinggi, dan produksi akan turun lebih jauh dalam waktu 6 bulan.

"Langkah ini dapat menyebabkan kematian pekebun kecil dan produsen perusahaan. Para produsen ini berkontribusi dalam hal pajak dan kesempatan kerja, selain memastikan pasokan CPO ke pasar tetap," katanya.

Selanjutnya, produksi pangan sangat tinggi. Padat energi- dari pupuk hingga transportasi sehingga harga energi akan meningkat secara bersamaan dan seluruh dunia akan menderita akibat larangan ekspor Indonesia.

Baca Juga: Profil Lengkap MSAT alias Mas Bechi Viral Karena Kasus Pencabulan, Simak Selengkapnya!

"KPK, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung harus mengintensifkan penyelidikan jika ada pihak yang berkolusi untuk menipu pemerintah dengan menyedot CPO untuk penjualan tidak sah, yang selanjutnya dapat menyebabkan kekurangan minyak goreng lokal di Indonesia," ujar Arief.

Produsen, petani, dan konsumen semua diperburuk oleh kebijakan flip-flop yang tampaknya hanya menguntungkan kelompok atau mafia sawit.

"Karena itu APPKSI mendesak presiden Jokowi untuk tidak terjebak dengan kebijakan populis ingin harga minyak goreng murah, tapi menghancurkan sektor industri sawit yang sudah banyak memberikan dampak bagi perekonomian nasional dan peningkatan pendapatan masyarakat di luar pulau Jawa."

APPKSI juga mendesak Presiden Jokowi menurunkan pungutan ekspor CPO yang sangat tinggi yang jadi  penyebab harga TBS petani makin hancur karena beban pungutan ekspor ternyata dibebankan pada harga beli TBS.

Baca Juga: Lirik dan Chord Gitar Lagu Batak Toba Berjudul Pasu Pasu Hami O Tuhan, Sebuah Lagu Rohani Batak

"Kami sampaikan pada Bapak Presiden agar dapat segera ditindaklanjuti, jika tidak didengar, maka APPKSI akan melakukan langkah hukum terhadap presiden Jokowi," pungkasnya.***

Editor: Arif Rahman

Tags

Terkini

Terpopuler