JURNAL MEDAN - Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, peralihan sumber energi primer dari fosil ke sumber ramah lingkungan memang harus dilakukan. Peralihan itu, kata dia, harus mempertimbangkan kondisi nasional.
Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru Terbarukan (EBT) juga dikhawatirkan lebih berpihak kepada importir yang mengincar peluang hingga Rp 7.000 triliun atau setara APBN Indonesia 3,5 tahun.
Aneka aturan dan rancangan aturan soal energi baru juga dikhawatirkan malah meningkatkan harga listrik.
"Saat ini, industri dalam negeri belum mampu memproduksi panel surya untuk PLTS, komponen PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu) dan pembangkit EBT lain," ujarnya di Jakarta, Kamis 15 Juli 2021.
Seharusnya, dalam RUU EBT yang tengah dibahas di DPR ada upaya dan insentif untuk mendorong kemandirian nasional dalam produksi pembangkit EBT.
Pemerintah harus mampu mendorong penelitian dan juga riset sendiri sehingga bisa menghasilkan solar panel dengan harga yang lebih kompetitif.
"Kebutuhan solar panel ke depannya akan terus meningkat, jangan hanya terkesan memanjakan importir panel surya saja. Bagaimana kita harus bisa menciptakan kemandiri sektor energi. DPR harus memasukan komponen dalam negeri yang cukup besar terkait dengan PLTS maupun PLTB ini," jelasnya.
Ia mengingatkan potensi pasar pembangkit EBT bisa mencapai Rp 7.000 triliun hingga 2050. Pasar sebesar itu hanya akan dinikmati asing dan agennya di dalam negeri jika Indonesia tidak bisa mandiri dalam produksi pembangkit EBT.