فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” (QS. Al Kautsar: 2)
Sedangkan dalam hadis diterangkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Madinah selama sepuluh tahun dan selalu berkurban.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Ibnu Umar, ia (Tirmidzi) berkata, “Hadis hasan.”)
Menurut sebagian ulama, berkurban bagi yang mampu hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
“Barangsiapa yang memiliki kemampuan, namun tidak mau berkurban, maka janganlah sekali-kali mendekati tempat shalat kami (lapangan shalat ‘Id).” (Hadis hasan, Shahih Ibnu Majah 2532)
Sedangkan yang lain berpendapat bahwa hukumnya sunat mu’akkadah (sunat yang sangat ditekankan) beralasan dengan hadis berikut:
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Apabila kamu melihat hilal (bulan sabit tanda tanggal satu) Dzulhijjah, sedangkan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka tahanlah (jangan dicabut) rambut dan kukunya.” (HR. Muslim)
Kata-kata “salah seorang di antara kamu ingin berkurban” menunjukkan sunatnya.