Khutbah Jumat Penuh Manfaat, Tema: Pesan Kemanusiaan Rasulullah di Bulan Dzulhijjah

- 4 Juli 2022, 07:40 WIB
Ilustrasi: shalat berjamaah
Ilustrasi: shalat berjamaah /Instagram @abdl_shakur

Kalimat Rasulullah dalam khutbah itu diulang-ulang dan dilanjutkan dengan doa dan penegasan bahwa khutbah itu sebagai wasiyat pada umatnya. Bahkan Nabi Muhammad ﷺ menegaskan bahwa sudah tidak ada lagi pertumpahan darah antara umat Islam dengan kaum kafir setelah hari ‘Idul Qurban itu.

Dari hadits tersebut di atas, sebagai umat Islam yang merasakan nikmatnya hidup di Indonesia yang telah merdeka 73 tahun, dapat mengambil tiga pesan Rasulullah dimaksud:

Pertama, seorang pemimpin umat Islam harus berkomunikasi dan selalu membimbing umatnya. Salah satu cara komunikasi itu yakni dengan mengingatkan betapa pentingnya hari dan bulan yang mulia dan diharamkan oleh Allah. Memperingati hari dan bulan haram adalah dengan melaksanakan sunnah Rasulullah: berpuasa, bertaqarrub dan beramal sosial secara istiqamah.

Dan di bulan haram, tidak diperbolehkan perang (beradu fisik dan menebar fitnah) Kedua, di dalam sebuah kemulian ada tempat hidup yang selalu digunakan untuk beribadah, Nabi menyebutnya dengan kata balad. Kata balad dalam Kamus Al Munawwir karya KH Ahmad Warson Munawwir yang telah dikoreksi KH Ali Ma’shum dan KH Zainal Abidin Munawwir bermakna: daerah, negeri, desa, kampung, tanah air.

Jika Nabi Muhammad ﷺ menyebut kata balad dalam khutbah ‘idul adha, maka perlu kita ambil hikmah bahwa betapa cintanya Nabi Muhammad kepada tanah airnya sesuai dengan firman Allah:

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ ۚ قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ مَنْ جَاءَ بِالْهُدَىٰ وَمَنْ هُوَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Artinya: “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali (Makkah). Katakanlah: "Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata". (QS. Al Qashah: 85)

Dan ketiga, betapa pentingnya menjadikan Islam sebagai agama yang mendorong lahirnya perdamaian, bukan agama kekerasan penuh peperangan. Sejarah perintah berqurban kepada Nabi Ibrahim yang diminta menyembelih putranya (Nabi Ismail) dan kemudian diganti domba adalah sebuah bukti bahwa Islam sangat melindungi hak asasi manusia dan cinta perdamaian. Al Qur’an mencatat sejarah ini sebagai bentuk penyempurnaan manusia berbakti pada Allah Surat As Shaffat ayat 102:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Syaikh Utsman bin Hasan Al Khaubawi dalam kitab Durratun Nashihin memberikan penjelasan bahwa perjalanan Nabi Ibrahim dari negeri Syam hingga Makkah dalam mengikuti perintah Allah diabadikan dalam rangkaian ibadah sunnah puasa Tarwiyah (yataraw, memikirkan diri atas mimpi menyembelih anaknya) dan puasa Arafah (‘arafa, tahu dan yakin bahwa mimpi itu dari Allah).

Arafah juga menjadi tempat puncak ibadah haji. Dan kemudian hari kesepuluh Dzulhijjah menjadi penyembelihan (nahr).

Halaman:

Editor: Arif Rahman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah