Naskah Khutbah Idul Fitri 2023/1444 H Terbaru, Mengambil Pelajaran Penting dan Hikmah Bulan Ramadhan

- 2 April 2023, 21:53 WIB
Naskah Khutbah Idul Fitri 2023/1443 H Terbaru, Mengambil Pelajaran Penting dan Hikmah Bulan Ramadhan
Naskah Khutbah Idul Fitri 2023/1443 H Terbaru, Mengambil Pelajaran Penting dan Hikmah Bulan Ramadhan /

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Ma-idah: 27). ‘Umar bin ‘Abdul Aziz berikut tatkala beliau berkhutbah pada hari raya Idul Fithri, “Wahai sekalian manusia, kalian telah berpuasa selama 30 hari. Kalian pun telah melaksanakan shalat tarawih setiap malamnya. Kalian pun keluar dan memohon pada Allah agar amalan kalian diterima. Namun sebagian salaf malah bersedih ketika hari raya Idul Fithri. Dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya hari ini adalah hari penuh kebahagiaan.” Mereka malah mengatakan, “Kalian benar. Akan tetapi aku adalah seorang hamba. Aku telah diperintahkan oleh Rabbku untuk beramal, namun aku tidak mengetahui apakah amalan tersebut diterima ataukah tidak.” Sebagian ulama sampai-sampai mengatakan, “Para salaf biasa memohon kepada Allah selama enam bulan agar dapat berjumpa dengan bulan Ramadhan. Kemudian enam bulan sisanya, mereka memohon kepada Allah agar amalan mereka diterima.”

Itulah kekhawatiran para ulama. Mereka begitu khawatir kalau-kalau amalannya tidak diterima. Namun berbeda dengan kita yang amalannya begitu sedikit dan sangat jauh dari amalan para salaf. Kita begitu “pede” dan yakin dengan diterimanya amalan kita. Sungguh, teramatlah jauh kita dengan mereka.

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Semoga dengan kumandang takbir di hari fithri ini semakin membuat kita mengangungkan Allah, semakin membuat kita menjauhi kesyirikan dan meninggalkan tradisi yang berbau syirik serta semoga kita semakin mengikhlaskan ibadah kepada-Nya.

Konsekuensi dari kita ikhlas kepada Allah adalah kita hendaknya mengikuti jejak nabi kita dalam beribadah, bukan malah kita berbuat ibadah seenaknya saja. Itulah yang membuat ibadah kita bisa diterima. Ikhlas dan ittiba’ Rasul (mengikuti tuntunan Rasul) itulah dua syarat diterimanya ibadah. Orang yang beribadah dengan memenuhi dua syarat ini, merekalah orang-orang yang benar-benar mengharapkan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi: 110). Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya. Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 9/205). Dari sini janganlah kita ibadah asal-asalan. Jangan membuat ibadah-ibadah baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian pelajaran penting lainnya dari ibadah shalat Idul Fithri yang kita lakukan saat ini. Shalat yang kita jalani mungkin agak telat dari kaum muslimin yang melakukannya di hari kemarin. Apa yang kita lakukan semata-mata karena ingin patuh pada jama’ah kaum muslimin. Yang dimaksud jama’ah adalah pemerintah Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” (HR. Tirmidzi no. 697, shahih). Yang dimaksudkan hadits ini adalah puasa dan berhari raya adalah bersama dengan jama’ah (pemerintah) dan mayoritas manusia. Demikian tafsiran dari para ulama sebagaimana disebutkan oleh Imam At Tirmidzi dalam kitab sunannya. Keutamaan orang yang berpegang teguh dengan jama’ah adalah sebagaimana disebut oleh Imam Ahmad,

يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Allah akan senantiasa bersama (dengan memberi pertolongan) pada jama’ah”. (Majmu’ Al Fatawa, 25/117)

Apalagi pemerintah benar-benar memutuskan hari raya ini dengan ru’yah hilal, yaitu penglihatan bulan tsabit di awal bulan. Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185). Dalam ayat ini secara jelas dikatakan bahwa kita cukup menyaksikan hilal di negeri masing-masing. Seandainya di negeri lain seperti Malaysia dan negara timur tengah telah terlihat hilal, kita sama sekali tidak diperintahkan satu hari raya dengan negara-negara tersebut.

Halaman:

Editor: Ade Kurniawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah