MENYERAMKAN! Cerita Horor Panjang Perjalanan Naik Kereta Ghaib dari Stasiun Cikini Menuju Depok

- 23 Juli 2022, 21:04 WIB
Cerita Horor Perjalanan Naik Kereta Ghaib
Cerita Horor Perjalanan Naik Kereta Ghaib /ANTARA

JURNAL MEDAN -  Indonesia terkenal dengan cerita horor, seperti saat melakukan pendakian gunung, hingga rumah yang tidak lama di huni.

Namun cerita horor kali ini berbeda, sebab cerita horor ini terjadi di gerbong kereta ghaib tujuan Cikini-Depok.

Cerita horor ini dialami oleh seorang anak SMA orang Depok yang sekolah SMA di daerah Jakarta.

Melansir dari YouTube Ghibah Horor, Sabtu 23 Juli 2022, inilah cerita horor Panjang perjalanan naik kereta ghaib selengkapnya.

Kisah ini merupakan pengalaman yang pernah terjadi sekitar 20 tahun yang lalu yang diceritakan oleh zeropoin di Twitter.

Jadi begini cerita lengkapnya, perkenalkan namaku Hakim. peristiwa ini terjadi  pada masa aku duduk dibangku kelas 2 SMA di salah satu SMA negeri di Jakarta Pusat.

Baca Juga: Kisah Horor Pabrik Gula di Cirebon, Bekas Pesugihan, Tempat Ngumpul Jin yang Banyak Cerita Mistis

Setelah pindah rumah satu tahun lalu menumpangi KRL Depok-Cikini-Depok sudah menjadi rutinitas biasa kala itu.

Kala itu tahun 2002 belum pada era komputer line seperti sekarang ini yang semuanya serba rapi dan tertib.

Dulu ada dua tipe kereta yaitu ekspres dan ekonomi

sistem ticketing pun masih berupa karcis kertas, mungkin diantara kalian juga ada yang pernah mengalami era tersebut

Hari itu kegiatan ekskul di sekolah yang dilanjutkan dengan aktivitas nongkrong membuatku nyaris lupa waktu pulang.

Seingatku sekitar 10.10 malam aku memutuskan untuk pulang, meski tidak yakin apakah masih ada kereta beroperasi ke Depok.

Baca Juga: KISAH HOROR! Cerita Mistis Nyata Perjalanan Horor Driver Ojek Online, Terima Orderan dari Sosok Berbaju Merah

Tetapi aku memilih untuk mencoba dulu dibanding menunggu angkot yang tak jelas. Aku memilih berlari menuju stasiun yang menurutku akan lebih cepat dengan memotong jalan.

Stasiun Cikini sudah sepi saat aku tiba bahkan beberapa spot lampunya sudah dipadamkan.

Tidak ada seorangpun di lantai dasar stasiun, aku bergegas menyusuri tangga menuju loket tiket untuk membeli karcis.

Samar-samar dari kejauhan loket nampak sudah gelap. Aku terus mendekat untuk memastikan 

Seorang bapak-bapak berpakaian satpam muncul dari  sisi kiri mengagetkanku.

tanpa sepatah kata satpam itu menyodorkan satu karcis kereta ekonomi tujuan Bogor padaku.

Aku tercengang kemudian melihat loket dari dekat memang sudah tutup, saat itu aku berpikir Mungkin jam operasi petugas piket sudah selesai beberapa menit Kereta terakhir.

Tanpa banyak curiga dan dalam keadaan terdesak aku menerima karcis dari bapak satpam itu.

Baca Juga: Dijuluki Cenayang di Film Horor Ghost Writer 2, Ini Biodata dan Instagram Tatjana Saphira

Bapak itu  menolak dengan isyarat gerak tangannya ketika aku memberikan uang pengganti, Pikirku dia baik sekali memberikanku tiket kereta terakhir untuk pulang.

"Terima kasih Pak," ucapku yang tak terbalas.

Kemudian bergegas berlari menyusuri tangga menuju peron stasiun yang terletak di lantai paling atas, Aku tiba di peron stasiun dengan nafas terengah-engah, sangat sepi dan suasana entah mengapa terasa  berbeda, lampu peron terasa lebih redup dari biasanya, di peron ku tak ada siapapun, hanya aku seorang.

Tetapi di peron sebangku cara Stasiun Jakarta kota ada beberapa orang duduk menunggu dalam diam

Mulanya wajah mereka merunduk tapi tak selang Berapa lama mereka semua beralih menatapku  dengan pandangan kosong dan wajah pucat pasih.

Aku mencoba berpikir positif, mungkin mereka menatapku  karena hanya aku satu-satunya objek yang ada di seberang mereka.

Baca Juga: Misteri Gunung Slamet yang Jarang Diketahui Pendaki Gunung, Mulai Siluman Naga Sampai sampai Tempat Angker

Bulu kudukku meremang seketika, aku merasa gelisah berharap keretaku cepat datang, karena suasana saat itu benar-benar enggak enak banget.

Selain perasaan yang mulai tidak enak, aku mulai tak nyaman diperhatikan sedemikian tajam, meski yang nampak dapat dihitung jari beberapa pasang mata yang menatap.

Namun entah mengapa saat itu aku merasa diperhatikan oleh banyak orang. Aku berusaha mengalihkan pandangan menatap jauh real, mondar-mandir bola mataku menengok jam yang terpajang sampai 11.10 malam, yang dinanti akhirnya datang rel bergetar, suara laju kereta terdengar meski tanpa bunyi terompet kereta seperti biasanya.

Anehnya begitu, suara kereta terdengar dari asal peron ku tetapi mereka yang di peron seberang juga serentak ikut berdiri sejajar memperhatikan kereta itu sampai berhenti sempurna di peron.

Pintu kereta terbuka, cepat aku buru-buru masuk ke dalam. Seperti tanpa jeda pintu kereta langsung tertutup cepat begitu kedua kakiku menapak di Badan kereta.

Mulanya aku bernafas lega dan tidak memikirkan hal itu karena rasanya ingin segera pergi dari situ, sungguh suasana kala itu di Stasiun Cikini sangat berbeda dari biasanya.

Baca Juga: Cerita Mistis Pendaki Gunung Ciremai, Dikerjain Sosok Anak Kecil Perawakan Tak Wajar Hingga Dangdutan Gamelan

Namun ternyata keputusanku memasuki badan kereta ternyata tidak lebih baik dibanding duduk diam di peron bersama manusia-manusia aneh itu sampai pagi.

Sampai sekarang rasanya masih merinding kalau mengingat kejadian itu. Rangkaian gerbong kereta yang aku masuki tidak ada penumpang lain, karena masih kepikiran kejadian tadi di stasiun aku melangkah menyusuri gerbong kereta mencoba mencari gerbong yang terisi penumpang lain.

"Masa iya di kereta ini cuma aku sendiri," pikirku sambil terus melangkah.

Suara deru mesin kereta melaju cepat bertabrakan dengan angin luar yang menciptakan suara seperti pluit bising, gerbong  pertama yang aku lewati masih kosong, gerbong kedua juga kosong, gerbong ketiga sama kosongnya.

Baru pada gerbong keempat aku bisa sedikit menghela nafas lega, di gerbong keempat ini agaknya aku sudah  hampir berada di rangkaian kereta kedua paling akhir

Aku melihat rangkaian gerbong kereta paling  ujung sudah cukup padat banyak orang, cuma yang aku bingung di sana orang-orang penuh sampai ada yang berdiri.

Padahal di gerbong setelahnya, gerbong  tempat aku berdiri masih banyak kursi kosong. Karena fisik sudah capek aku tidak mau terlalu  memikirkan dan memilih untuk duduk di kursi paling sudut dekat pintu

Beberapa orang yang ada di baris sisi kiri-kanan dan hadapanku duduk dengan wajah tertunduk.

"Mungkin sama pada lelah juga," pikirku.

Perasaanku mulai tak nyaman begitu menyadari bahwa  mereka semua berpakaian warna putih, lagi-lagi aku mencoba berpikiran positif.

"Ah mungkin kebetulan,"

Penasaran aku memperhatikan mereka satu persatu, ketakutan dan rasa panik menyerangku secara bersamaan begitu melihat wajah mereka semua pucat  pasi dengan bibir biru mirip seperti yang aku temui di stasiun.

Aku merinding hebat, belum juga berlari tapi jantungku sudah berdetak cepat, kaki kakiku melemas.

Pikiranku terus menerka-nerka segala yang buruk dan jelek, aku memejamkan mata mencoba mengambil alih tenang, tetapi nafasku terus menderu cepat. Aku mengucap zikir, "Astaghfirullah," tiba-tiba telingaku menangkap suara anak kecil tertawa.

Aku memberanikan diri membuka mata, tepat diatas kepala pria paruh baya yang duduk dihadapanku, berbaring telungkup anak perempuan, berambut Ikal berbola mata hitam dan berkulit biru menatapku menyeringai sembari menggerakkan kepala  kiri dan kanan.

"Astagfirullah, Astagfirullah,"

Anak itu mengulang rapalan ku dalam hati disusul oleh tawa riang.

Anehnya orang-orang berbaju putih di gerbong itu masih duduk tak bergeming meski tawa anak itu memekikkan telinga.

Seolah hanya aku satu satunya manusia yang merasa ketakutan di sana. Sisa-sisa keberanian yang susah payah kupertahankan buyar seketika, begitu sosok anak itu tak henti tertawa dan mengulang apa yang aku ucapkan.

Aku pun beranjak bangun, lalu seluruh sosok  dalam gerbong itu menatap satu ke arah tertuju padaku. Dari situ aku melihat ragam wujud, mereka. Sebagian berwajah hancur, berkulit biru berambut ikal, beberapa dari mereka ada yang bermata bolong, bahkan bermuka rata.

Kereta melaju dengan cepat, bahkan tidak berhenti melewati tasiun demi stasiun. Akupun panik, tak tahu apa yang harus aku lakukan selain berdoa dan menghindar.

Dengan langkah menyeret dan keringat menetes, aku berupaya pergi dari gerbong itu menuju dua gerbong setelahnya. Di gerbong itu hanya ada satu sosok laki-laki paruh baya yang duduk di barisan paling sudut. Sosok itu mengenakan baju putih duduk, merunduk seorang diri. Aku gemetar, aku merasa sosok itu sama seperti sosok-sosok aneh yang aku temui sebelumnya.

Baru saja ingin berlalu melewatinya, tetapi langkahku terhenti begitu melihat dari kejauhan tepat di garis lurus pandanganku terlihat penampakan sosok nenek-nenek bungkuk berambut putih ikal kusut, bermata bolong dan dia menjulurkan lidah panjang hingga menyentuh ke lantai gerbong.

Sosok itu melangkah mendekat kearah gerbong ku, "Ya Tuhan,".

Kala itu aku merasa hidupku akan selesai, tubuh ini benar-benar lemas, rasanya  kayak mau pingsan tapi enggak pingsan pingsan.

Mau lari lagi juga bingung, depan belakang mentok. Aku memilih untuk berdiri didepan pintu kereta. Saat aku melihat kereta sudah melaju kencang melewati stasiun Pondok Cina tapi tidak berhenti.

Tak berhenti sampai disitu berikutnya sosok lelaki paruh baya yang duduk di barisan paling sudut tadi seketika menoleh melotot kearahku.

Wajahnya pucat pasi, dia melotot tajam kemudian menyeringai, yang terjadi berikutnya benar-benar membuatku merasa nyaris kena serangan jantung karena panik melihat kepala dari sosok laki-laki paruh baya itu terlepas  dan menggelinding ke arahku.

Aku pun lemas bukan main, semua rapalan ayat-ayat doa aku baca acak, aku kehilangan fokus ditambah sosok nenek bungkuk itu semakin mendekat.

Badanku gemetar benar-benar merasa ajal sudah dekat, suasana makin ga karuan ketika aku mendengar suara hentakan kaki berlari dari ujung gerbong kearahku.

Aku tidak berani menoleh sama sekali, aku berdiri tegak lurus di hadapan pintu kereta, suara derap lari itu semakin dekat.

"Lari-lari," suara sentak wanita bergaung entah bersumber dari mana.

Aku sudah tidak punya lagi untuk menoleh kearah manapun, menatap keluar sudah arah pandang teraman menurutku.

"Lari," sentak tetap suara wanita itu lagi.

Tuhan menyelamatkanku kereta berhenti dan pintu gerbong terbuka, aku buru-buru keluar dan tubuhku roboh ke bawah. Kereta itu berlalu cepat, aku melihat tanda Stasiun Depok, aku turun di Stasiun  Depok ditempat tujuanku.

Tak mau ambil pusing dulu dengan apa yang terjadi padaku di kereta itu saat ini menyelamatkan diri adalah hal pertama yang harus aku lakukan.

Aku buru-buru beranjak mencari pintu keluar, tapi Stasiun Depok kali itu sudah gelap, pintu keluar juga sudah tergembok.

Aku berjalan menyusuri sisi rel untuk bisa keluar di persimpangan jalan di depan seingatku ada portal penyebrangan di sana.

Aku baru bisa bernapas lega ketika kendaraan kendaraan yang berlalu-lalang sudah bisa terlihat. Aku keluar di persimpangan rel dan menepi di gerobak gorengan yang sedang mangkal.

Pak Iting tukang gorengan itu menegurku, dia melihat aku berjalan menyusuri rel dari ujung sebelum stasiun Depok.

Aku menjelaskan kalau aku tadi naik kereta dari Cikini.

"Dari tadi saya nggak lihat kereta yang lewat Mas," tegas Pak Iting.

Akupun shock, teringat rangkaian peristiwa yang aku alami barusan.

Di sini aku baru merasakan nyeri disekujur badan, lengan dan kaki.

Aku melihat bahu dan kaki-kakiku penuh luka lebam biru, bukan cuma itu sampai rumah aku buka baju pas ngaca badanku semuanya juga pada biru-biru memar.

Sampai sekarang aku masih merinding kalau ingat kejadian itu, terus ternyata aku cerita ke teman-teman banyak juga yang ngalamin kejadian kaya aku di kereta seperti itu.***

Editor: Ahmad Fiqi Purba

Sumber: YouTube Ghibah Horor


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah