Sejarah dan Fakta Unik Tentang Malam 1 Suro, Lengkap Dengan Asal Muasal, Larangan dan Tradisi Uniknya

- 29 Juli 2022, 09:56 WIB
Sejarah dan Fakta Unik Tentang Malam 1 Suro, Ternyata Asal Muasalnya Dari Hal ini.
Sejarah dan Fakta Unik Tentang Malam 1 Suro, Ternyata Asal Muasalnya Dari Hal ini. /Pixabay/558124

Satu suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tanggal satu biasanya disebut malam satu suro, hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.

Satu Suro memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa, hari ini dianggap keramat terlebih bila jatuh pada Jumat Legi. Untuk sebagian masyarakat pada malam satu suro dilarang untuk ke mana-mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain.

Baca Juga: Malam 1 Suro Dianggap Angker Sebagian Masyarakat Jawa, Begini Pandangan Islam

Malam satu Suro yang sangat lekat dengan budaya Jawa, biasanya terdapat ritual tradisi iring-iringan rombongan masyarakat atau kirab. Beberapa daerah di Jawa merupakan tempat berlangsungnya perayaan malam satu Suro.

Di Solo, misalnya perayaan malam satu Suro terdapat hewan khas yang disebut kebo (kerbau) bule. Kebo bule menjadi salah satu daya tarik bagi warga yang menyaksikan perayaan malam satu Suro dan konon dianggap keramat oleh masyarakat setempat.

Kebo Bule Kyai Slamet. Bukan sembarang kerbau, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik keraton.

Baca Juga: Inilah 4 Pesan Suci Leluhur Nusantara Setelah Malam 1 Suro Menurut Primbon Jawa, Yuk Disimak!

Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang.

Menurut seorang pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur kerbau dengan warna kulit yang khas, yaitu bule (putih agak kemerah-merahan) itu, merupakan hadiah dari Kyai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo.

Kepada Paku Buwono II, yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet saat beliau pulang dari mengungsi di Pondok Tegalsari ketika terjadi pemberontakan pecinan yang membakar Istana Kartasura.

Halaman:

Editor: Sunardi Panjaitan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah