Energy Watch Soroti Kemandirian Nasional Dalam RUU EBT, Potensi Pasarnya Mencapai Rp 7.000 Triliun

- 16 Juli 2021, 01:15 WIB
Panel surya salah satu contoh energi baru terbarukan (EBT)
Panel surya salah satu contoh energi baru terbarukan (EBT) /Istimewa

"RUU EBT tidak tepat dan cendrung memberatkan PLN karena kondisi saat ini listrik sudah berlimpah seperti saat ini. Apalagi, listrik yang dihasilkan oleh EBT ini harganya masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan oleh batu bara. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri baik bagi Pemerintah maupun bagi masyarakat," ujarnya.

Bagi pemerintah, jika memang tidak ada kenaikan tarif maka harus menanggung biaya kompensasi yang harus di bayarkan kepada PLN. Disisi lain, jika dinaikkan, maka akan menjadi beban bagi masyarakat terutama 75% bagi pengguna golongan non subsidi.

"PLN akan berhitung secara keseluruhan untuk setiap BPP mereka. Jadi saya kira, mumpung masih dalam tahap pembahasan para anggota DPR dan juga Kementerian ESDM harus memikirkan dampak yang dihasilkan jika ketentuan ini jadi diterapkan. Akan sangat memberatkan banyak pihak," ucapnya.

Dirinya menambahkan hal ini memberatkan PLN ke depannya ditengah kondisi oversuplly karena proyek 35GW serta konsumsi listrik yang rendah dan tidak sesuai dengan apa yang direncanakan oleh pemerintah saat program 35GW ini di canangkan.

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang juga masih jauh daripada target yang diharapkan serta pertumbuhan konsumsi listrik yang masih cukup rendah menjadi beban yang luar biasa bagi keuangan PLN. Oversupply saat ini saja sudah mencapai angka 23% dengan cadangan listrik saat ini sudah diatas 35% dimana idealnya adalah 30%.

"Apa yang ada dalam draft RUU tersebut menjadi tidak tepat dan cendrung memberatkan PLN karena kondisi saat ini listrik sudah berlimpah seperti saat ini," kata dia.

Baca Juga: WhatsApp Keluarkan Fitur Multi Device Tanpa Nomor Handphone, Ini Keunggulannya!

Ia juga berharap ada dukungan untuk program Co-Firing PLTU. Inisiatif itu mengombinasikan kebutuhan penggunaan energi ramah lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Bahan bakar co-firing berasal dari kayu yang disediakan masyarakat dan BUMN.

Co-firing juga merupakan upaya Indonesia untuk mengurangi penggunaan batu bara sebagai energi primer. Melalui perkebunan kayu ganal dan kaliandra yang melibatkan banyak masyarakat akan sangat membantu perekonomian mereka.

"Program perkebunan ini saya harap di dukung oleh Perhutani ataupun PTPN yang mempunyai lahan kosong untuk dioptimalisasikan. Semakin banyak perkebunan yang dibuka, maka akan semakin banyak tenaga kerja yang di serap dan bisa membantu perekonomian mereka. Ini jauh lebih baik dan kerakyatan jika dibandingan program bauran energi yang lain," jelasnya. ***

Halaman:

Editor: Arif Rahman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x