Pengamat Pertanyakan Kerja Lembaga Survei Gara-gara Hasil Mencolok Untuk Elektabilitas Parpol dan Capres

28 Oktober 2022, 20:52 WIB
Ilustrasi hasil survei tentang elektabilitas /ANTARA/

JURNAL MEDAN - Pengamat komunikasi politik Jamiluddin Ritonga mempertanyakan kinerja lembaga survei karena perbedaan hasil mencolok terkait elektabilitas capres dan parpol.

Menurut dia, banyak lembaga survei yang merilis hasil berbeda satu dengan lainnya. Padahal besar sampel dan waktu pelaksanaan surveinya hampir relatif sama.

Jamiluddin Ritonga merujuk kepada hasil Survei Charta Politica Indonesia dan Litbang Kompas baru-baru ini yang dapat dijadikan contoh.

Baca Juga: Survei IPO: Anies Baswedan - Ganjar Pranowo JUARA, Unggul Jauh Walau Sudah Diutak-atik Dengan Calon Lain

Charta Politica Indonesia menggelar survei pada 6-13 September 2022 melibatkan 1220 responden, sementara Litbang Kompas pada 24 September - 7 Oktober 2022 dengan 1200 responden.

Namun hasil yang dirilis menunjukkan perbedaan. Charta Politica Indonesia merilis tiga besar elektabilitas partai politik, yaitu PDIP 21,4 persen, Gerindra 14,8 persen, dan Golkar 9,3 persen.

Sedangkan Litbang Kompas merilis elektabilitas tiga besar partai politik, yaitu PDIP 21,1 persen, Gerindra 16,2 persen, dan Partai Demokrat 14,0 persen.

"Jadi, untuk urutan 1 dan 2, dua lembaga survei itu sama menempatkan PDIP dan Gerindra. Namun untuk ururan ketiga berbeda, di mana Charta Politica Indonesia menempatkan Golkar dan Litbang Kompas menempatkan Partai Demokrat," ujarnya dalam keterangan, Jumat, 28 Oktober 2022.

Baca Juga: Survei Populi Center: Ganjar Pranowo Unggul Tipis Dari Anies Baswedan, Prabowo Subianto Tempel Ketat

Menariknya, kata dia, Charta Politica Indonesia menempatkan elektabilitas Partai Demokrat pada peringkat enam (6,6 persen), sementara Litbang Kompas menempatkan Golkar peringkat empat (7,9 persen).

Dari dua lembaga survei itu, Jamiluddin mengambil kesimpulan bahwa terlihat hasil survei untuk Partai Demokrat selisihnya cukup besar, yaitu 7,4 persen.

"Temuan seperti ini juga kerap ditemukan pada hasil survei lembaga survei lainnya," ujar dia.

Perbedaan hasil tersebut tentu menarik dipersoalkan. Sebab, kata dia, survei yang dilakukan waktu dan besar sampelnya relatif sama. Seharusnya temuannya juga tidak jauh berbeda.

Baca Juga: Survei IPO Soal Pj Gubernur DKI Jakarta, Bahtiar Sosok Paling Netral dan Punya Kapasitas Birokrasi

Lembaga survei menurut Jamiluddin perlu menjelaskan kenapa hasil surveinya kerap jauh berbeda dengan yang dihasilkan lembaga survei lainnya.

"Penjelasan itu diperlukan agar kepercayaan masyarakat terhadap lembaga survei tetap terjaga," ujarnya.

Saat ini, menurut dia, sudah banyak yang menertawakan hasil survei yang dirilis lembaga survei.

Bahkan diantara masyarakat sudah mulai tidak mempercayai hasil yang dirilis lembaga survei.

Baca Juga: The Power of Medsos, Survei CSIS Sebut 59 Persen Pemilih Muda Jadikan Media Sosial Sebagai Rujukan Memilih

Lembaga survei juga dinilai menjadi bagian dari tim sukses partai politik atau kandidat capres atau cawapres tertentu.

"Hal itu terlihat dari hasil survei melalui rilisnya," tegasnya.

Partai politik atau capres atau cawapres tertentu yang sebelumnya elektabilitas sangat rendah, tapi kemudian lembaga survei tertentu merilis hasil dengan elektabilitas yang meningkat signifikan.

Masyarakat yang membaca hasil survei seperti itu terkaget-kaget dan kemudian menganggap lembaga survei itu menjadi bagian tim sukses.

Hasil yang dirilis lembaga survei tersebut akhirnya tidak dipercaya dan menjadi bahan olok-olok.

Baca Juga: Survei LPMM: KIB, Ketum Golkar, dan Menko Perekonomian Dongkrak Popularitas Airlangga Sebagai Capres

"Hal seperti itu tentu tidak boleh terus terjadi. Sebab, survei sebagai bagian pendekatan ilmiah dalam dunia politik seharusnya tidak boleh dikotori oleh pihak-pihak yang menjadikan lembaga survei sebagai lahan bisnis semata."

Lembaga survei kemudian menjadikan hasil surveinya untuk menggiring pendapat umum demi kepentingan parpol atau capres atau cawapres yang membayangkan.

"Cara seperti ini sudah mempraktekkan pembentukan opini palsu yang berbahaya bagi kelangsungan demokrasi di tanah air," jelasnya.

Jamiluddin mengatakan bahwa harus ada yang mengawasi lembaga survei agar tetap dalam koridor ilmiah.

Baca Juga: Survei: Jagoan KIB Airlangga-Khofifah Unggul Berdasarkan Simulasi Parpol Pemegang Tiket Capres Cawapres 2024

Pengawas lembaga survei juga harus terdiri orang-orang yang independen dan berintegritas. Dengan begitu, lembaga survei dapat dipastikan bekerja sesuai prinsip ilmiah.***

Editor: Arif Rahman

Tags

Terkini

Terpopuler