Sekjen NU Bicara Digitalisasi di Era Pandemi, Kualitas Demokrasi Indonesia Menurun, Covid Memperburuk Situasi

- 2 Desember 2021, 18:40 WIB
Sekjen NU Bicara Digitalisasi di Era Pandemi, Kualitas Demokrasi Indonesia Menurun, Covid Memperburuk Situasi
Sekjen NU Bicara Digitalisasi di Era Pandemi, Kualitas Demokrasi Indonesia Menurun, Covid Memperburuk Situasi /PublicDomainPictures / PIXABAY

JURNAL MEDAN - Sekjen Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (NU) Helmy Faishal Zaini mengungkapkan terjadinya penurunan kualitas demokrasi Indonesia yang juga terjadi di berbagai negara selama pandemi.

Fakta itu berdasarkan informasi dari Economist Intelligent Unit (EIU). Pandemi Covid 19, kata dia, ikut mempercepat penurunan kualitas demokrasi Indonesia.

Di masa yang penuh tantangan tersebut, demokrasi dianggap bisa bertahan meski terus menerus berada di dalam tekanan selama pandemi.

Baca Juga: UPDATE! Sinopsis Balika Vadhu: Anandi Minta Shiv Menikahinya, Pesan Terakhir Bhakwati Jadi Acuan

"Penurunan itu bagian dari tantangan demokrasi di tengah pandemi. Ada sejumlah tantangan bagi demokrasi,” kata Helmy Faishal Zaini dalam diskusi di Jakarta, Kamis 2 Desember 2021.

Salah satu tantangan menurunnya demokrasi di era pandemi antara lain dari dunia digital yang semakin marak digunakan selama pandemi. Para petualang digital bertebaran dengan berbagai hal yang justru mengancam demokrasi.

"Paham-paham transnasional disebar melalui pelantar digital. Paham-paham itu memanfaatkan demokrasi untuk menghapuskan demokrasi," ujarnya.

Prinsip demokrasi yang membolehkan perbedaan pendapat membuat penyebaran paham itu tidak mungkin dilarang. Hal yang bisa dilakukan adalah meningkatkan pemahaman masyarakat atas isu-isu itu.

Baca Juga: Drama Balika Vadhu Hari Ini: Hancur dan Kecewa, Jagdish Dapat Hinaan Dari Keluarga, Shiv Meminang Anandi

Di sisi lain, perlu juga dipahami demokrasi bukan hanya soal hak berbeda pendapat. Padahal, kematangan demokrasi lebih dari hal itu. Dibutuhkan kesiapan dan kesabaran untuk mengembangkan demokrasi.

Sebab, proses demokratisasi membutuhkan waktu panjang. Menurut dia, tidak tepat jika menganggap hanya ada satu versi demokrasi yang benar.

Demokrasi tidak hanya dari paradigma sekuler yang memisahkan sepenuhnya agama dan kehidupan publik, termasuk sistem hukum dan politik. Demokrasi juga bisa menggunakan paradigma simbiotik seperti diterapkan di Indonesia.

Sementara itu, Pakar politik internasional Universitas Paramadia Mahmud Syaltout mengatakan, dampak nyata pandemi adalah tekanan ekonomi.

Baca Juga: Inilah Daftar Tim yang Lolos ke 8 Besar dan Degradasi dari Liga 2 2021

Pada situasi ini, demokrasi transaksional semakin marak dan para calon petahana di pemilu cenderung diuntungkan.

Tekanan ekonomi juga membuat sebagian orang kesulitan menerima keragaman. Padahal  demokrasi membutuhkan keragaman.

"Ini tercermin dari kasus Charlie Hebdo di Perancis. Selama pandemi, seperti kelompok lain, toko-toko milik warga muslim Perancis tutup. Bisnis jasa mereka tidak berjalan. Mereka jadi sensitif," kata Syaltout yang juga Wakil Sekjen GP Ansor itu.

Sementara di sejumlah negara lain, tekanan ekonomi berujung pada penggulingan pemerintah. Di sejumlah negara, ada kudeta yang antara lain dipicu alasan itu.

Baca Juga: Tak Diberi Target Khusus Oleh Pelatih, Pramudya dan Yeremia Diwaspadai Sebagai Kuda Hitam Indonesia

Ia juga menyebut, demokrasi memang harus ditumbuhkan dari dalam negeri. Sebab, pemaksaan dengan alasan mendorong demokratisasi adalah pelanggaran.

"Ada negara-negara yang mengintervensi negara lain dengan alasan mendorong demokrasi. Tindakan itu melanggar demokrasi,” kata dia.

Titik Tengah

Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah mengatakan, pandemi memberi kesempatan kepada negara demokrasi untuk mencari model keseimbangan baru.

Sebab, ada kebutuhan pengendalian pandemi dan di sisi lain ada kebutuhan tetap menjaga hak-hak warga.

Baca Juga: Deretan Lagu Indie dan Alternatif Langganan TikTok, Lengkap dengan Link YouTube-nya

Pada negara-negara demokrasi, percobaan mencari keseimbangan itu dimungkinkan karena pemerintah dan masyarakat madani bisa bebas menyatakan pendapatnya.

Diskusi-diskusi itu menjadi salah satu cara mencari keseimbangan baru di tengah pandemi. 

Kondisi itu sulit diharapkan pada negara-negara otoriter. Lewat BDF, Indonesia ingin menyediakan ajang bagi masing-masing negara berbagi pengalamannya dalam mengelola pandemi dan demokrasi.

BDF tidak ditujukan untuk membandingkan beragam versi demokrasi. BDF juga tidak bermaksud menyeragamkan beragam versi demokrasi di berbagai negara.

Baca Juga: Baru 1 Menit Lalu Guys! Dengan 27 Kode Redeem FF Hari Ini, Ada Brave dan Rare Crystal dan Jakpot Diamond

"Demokrasi tidak monolitik, amat berwarna," kata Teuku Faizasyah dalam diskusi bertajuk "Menuju Bali Democracy Forum: Demokrasi di Era Pandemi, Menjawab Tantangan Dari Setiap Negeri" tersebut.

Ia menyebut, BDF sejak awal tidak dirancang sebagai ajang mencari format terbaik demokrasi. BDF dirancang menjadi forum berbagi untuk negara yang sedang mempraktikkan atau masih berminat pada demokrasi.

Sebab, proses demokratisasi tidak selamanya mulus. Di Timur Tengah dan Afrika Utara, demokratisasi yang dikenal sebagai Arab Spring tidak sepenuhnya menghasilkan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Kondisi itu bisa memicu penurunan kepercayaan warga pada demokrasi. ***

Editor: Arif Rahman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x