Kisah Legenda Sigale Gale di Pulau Samosir, Patung yang Bergerak karena Memiliki Roh Pangeran Manggale

- 14 Agustus 2022, 12:39 WIB
Patung Sigale Gale
Patung Sigale Gale /Instagram @samosir_visit

JURNAL MEDAN - Sigalegale, Sigale Gale, atau Sigalegale, sebuah patung kayu yang digunakan dalam pertunjukan tari saat ritual mengubur mayat suku Batak di Pulau Samosir, Sumatera Utara.

Sigale Gale berasal dari kata 'gale' yang artinya lemah, lesu, lunglai. Sigale Gale cukup terkenal di kalangan para turis.

Selama menari-nari, patung Sigale Gale dikendalikan oleh seorang pemain dari belakang mirip boneka Marionette menggunakan tali tersembunyi.

Baca Juga: Sinopsis Film Sayap Sayap Patah Arahan Denny Siregar, Kisah Tragedi Terorisme di Mako Brimob 2018

Tali tersembunyi itu menghubungkan bagian-bagian patung melalui podium kayu berukir tempatnya berdiri.

Hal ini memungkinkan bagian lengan, kepala dan tubuhnya digerakkan.

Konon, jumlah tali yang menggerakkan Sigale Gale sama dengan jumlah urat yang ada di tangan manusia.

Berikut kisah Patung sigale-gale dikutip dari kanal youtube idohape.

Alkisah di zaman dahulu kala terdapat sebuah kerajaan di daerah Uluan Samosir, Sumatera Utara, kerajaan tersebut dipimpin oleh Raja Rahat yang telah lama ditinggal mati oleh istrinya.

Baca Juga: Nonton Streaming Anime One Piece Episode 1029 Lengkap Sub Indo Gratis, Bukan Anoboy, Klik Link Legal Ini

Kini ia hanya tinggal berdua bersama putranya yang bernama manggale.

Raja Rahat disegani dan dihormati oleh rakyatnya karena ia sangat bijaksana dalam memimpin.

Rakyatnya juga sangat menghormati Manggale karena sang pangeran selalu menjunjung tinggi kebenaran dan bagus dalam berperang.

Ia tersenyum pada suatu hari terdengar sebuah kabar bahwa di hutan perbatasan puluhan ada pasukan dari negeri seberang.

Diduga pasukan itu berkumpul untuk menyerang dan menjarah harta kekayaan warga di Uluan.

Baca Juga: Surya Darmadi Alias Apeng Tersangka Maling Uang Rakyat Rp78 Triliun Janji Temui Penyidik, Siap Tanggung Jawab?

Tentu saja hal itu membuat rakyat khawatir dan mengadukannya kepada raja.

Setelah mendengar informasi tersebut sang raja mengumpulkan penasehat kepercayaannya untuk menyusun rencana terbaik.

Para tetua kampung, datu-datu (dukun) sekaligus putranya sendiri Manggale, sebagai seorang panglima perang berkumpul.

"Kudengar pasukan Musuh telah sampai di Uluan sehingga membuat rakyat gelisah. Kira-kira kalian memiliki nasehat apa," tanya Raja Rahat.

Penasehat kepercayaan yang hanya saling memandang dengan ekspresi takut.

Baca Juga: Menakjubkan, Para Pemain Timnas U-16 Ini Ternyata Hapal Al Qur'an, Salah satunya Muhammad Iqbal Gwijangge

"Musuh yang akan kita hadapi sangat kuat Baginda," kata Puncak Satu.

Puncak Datu merupakan salah satu penasehat paling tua yang ucapannya paling didengarkan oleh Raja Rahat.

Mereka terkenal tangkas berperang dan memiliki pasukan berkuda yang cukup kuat.

"Namun aku percaya kalau pasukan Uluhan yang dipimpin Manggale pasti bisa mengalahkannya bagaimanapun juga," ujar Puncak Datu.

Manggale merupakan panglima yang memiliki ketangkasan dan pengalaman yang sangat diperlukan,tapi Raja Rahat tidak langsung menyetujui usul itu.

Baca Juga: Download Nonton Ao Ashi Episode 19 dengan Sub Indo, Ini Spoiler dan Jadwal Tayang Animenya

Lalu ia menatap wajah setiap penasehat sambil menunggu sangkalan atau pendapat lainnya.

Namun tak ada seorangpun yang mengucapkan kalimat sangkalan semua penasehat menyetujui pendapat dari Puncak Datu.

Raja Rahat pun berkata, "Baiklah dengan ini saya Raja Rahat memerintahkan putra saya Pangeran Manggale untuk memimpin pasukan menghadapi musuh di hutan Perdata San," ujarnya.

Raja berharap Debata Mulajadi Nabolon selalu melindungi dan menyertai pasukannya memenangkan perangnya.

Pangeran Manggale kemudian  berangkat ke hutan perbatasan Uluan untuk berperang hingga peperangan berlangsung selama berbulan-bulan tanpa ada kepastian.

Setelah enam bulan berlalu, Raja Rahat dan warga Uluan pun mulai merasa resah dan gelisah. Dan tidak ada kepastian.

Mereka ingin tahu bagaimanakah kabar Manggale dan pasukannya namun tak ada seorangpun yang berani masuk ke dalam hutan untuk mencari tahu keberadaan mereka.

Suatu malam Raka Rahat bermimpi. Dalam mimpi tersebut ia melihat seekor burung gagak yang terbang di atas rumahnya.

Mendadak burung tersebut jatuh karena tertusuk anak panah dan kemudian mati.

Saat bangun dari tidurnya rasa takut langsung menyelimuti hati Raja Rahat. Ia merasa mimpi tersebut merupakan isyarat dari Debata Mulajadi Nabolon.

Ia kemudian berusaha merenungi maknanya setelah memikirkannya baik-baik, ia merasa kalau mimpi tersebut merupakan sebuah pertanda buruk.

Pikirannya pun langsung terarah pada Pangeran Manggale, hatinya risau memikirkan nasib putranya.

Ini membuat sang raja semakin sering termenung berlama-lama dan mengurung diri dikamar selama berhari-hari.

Tak jarang sang raja sampai tak menyentuh makanan dan minuman yang telah disediakan oleh para pelayannya. Jangankan makan, ia juga tak mandi atau sekedar membasuh muka untuk menyegarkan tubuhnya.

Mengetahui hal tersebut, rakyat Uluhan merasa cemas, mereka khawatir kalau sang raja nantinya jatuh sakit, para tetua dan penasihat kemudian membuat kesepakatan untuk melihat kondisi Raja Rahat.

Betapa terkejutnya mereka ketika melihat kondisi sang raja yang terlihat pucat hanya bisa terbaring lemas dan tak bisa berbicara.

Salah satu Datu kemudian mengecek kondisi tubuh Sang Raja Rahat.

"Sebenarnya baik-baik saja," ucap sang Datuk.

"Tak ada penyakit padanya, tetapi ia sakit karena memikirkan dan merindukan putranya Pangeran Manggale," ujarnya.

Para pelayan kemudian berusaha mencari cara untuk menyembuhkan sang raja yang sebenarnya bisa disembuhkan jika mereka bisa menghadirkan Manggale ke hadapan Raja Rahat.

Namun tentu saja ini bukanlah hal yang mudah. Seorang tetua kemudian memberikan masukan.

"Bagaimana kalau kita membuat patung yang menyerupai wajah Manggale?," kata tetua tersebut.

Dengan harapan apabila sang raja melihat patung itu, semoga saja kerinduan sang raja bisa terobati. Para tetua dan penasihat terdiam memikirkan ide tersebut.

Sebenarnya ide ini tidak buruk, tapi tetap saja ada hal-hal yang harus mereka pikirkan untuk menjalankannya.

Termasuk siapa yang akan membuat patung itu dan dimana tempat pengerjaannya.

Lalu Datu Mangatas berkata, "Aku mengenal seseorang yang pintar membuat patung manusia di Lumban Julu Nyusu. Kita bisa memintanya membuatkan patung yang mirip dengan pangeran Manggale," ujarnya.

"Setelah selesai dikerjakan kita bisa memanggil roh Manggale untuk masuk ke dalam patung tersebut," ujarnya lagi.

Mendengar jawaban tersebut para penasehat menyiapkan segala yang diperlukan.

Mereka meminta pengrajin di Lumbanjulu Jongginihuta membuatkan patung manusia.

Patungnya dibuat semirip mungkin dengan pangeran Manggale, mulai dari wajah hingga tinggi dan bentuk perawakannya. Proses tersebut butuh waktu selama beberapa bulan.

Setelah selesai mereka menunggu sampai bulan purnama untuk melakukan upacara pemanggilan roh Manggale.

Ketika malam bulan purnama tiba, para tetua dan penasihat menyiapkan hal-hal yang diperlukan untuk wacana pemanggilan roh.

Mereka berencana melakukannya di tengah lapangan, seluruh warga diundang untuk berkumpul di sekeliling lapangan, sementara patung Manggale diletakkan di tengah kerumunan seluruh warga yang datang.

Hingga Raja Rahat dan Datu Mangatas tiba. Ketika melihat patung yang ada di tengah lapangan pecahlah tangis sang raja.

Ia menatap dengan penuh ketidakpercayaan kalau ia bisa melihat putranya kembali.

"Putraku Manggale," kata Raja Rahat sambil menangis.

Seluruh rakyat merasa terharu jatuh. Datu Mangatas kemudian memberikan kode kepada Pargoncci atau penabuh gendang untuk memulai upacara.

Tiupan sordam pun terdengar nyaring diikuti dengan tabuhan gondang sabangunan.

Datu Mangatas mengambil tiga buah tali dengan warna yang berbeda yakni Hitam Putih dan Merah.

Ketiga tali tersebut diikatkan dengan rapi di kepala patung kemudian ia mengenakan ulos dan berdiri di tengah lingkaran.

Setelah merapalkan mantra ia menari mengelilingi patung tersebut sebanyak tujuh kali, tiba-tiba kepala Manggale itu mulai bergerak dan mengikuti gerakan Manortor yang dilakukan Datu Mangatas.

Sang datu kemudian mendekati Raja Rahat untuk ikut melakukan manortor bersama-sama. Raja pun menyambut sang datuk dengan bangkit berdiri dan ikut melakukan manortor.

Tabuhan Gondang sabangunan semakin terdengar bertalu-talu, rakyat pun yang melihat tarian sang raja tak tinggal diam. Mereka pun berdiri dan ikut bergabung manortor bersama-sama hingga matahari terbit.

Ketika matahari terbit, pesta dan tarian itu harus diakhiri karena hal tersebut termasuk isi dari perjanjian yang dibuat Datu Manggala dengan roh Manggale.

Setelah itu patung tak bisa bergerak lagi. Patung itu disimpan Raja Rahat.

Ketika sang raja merindukan putranya ia mengeluarkannya dari penyimpanan. Kemudian mengadakan upacara pemanggilan roh.***

Editor: Arif Rahman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x