Syarief mengingatkan kondisi memanas seperti ini jangan sampai dibiarkan terjadi lama karena berpotensi menimbulkan konflik perang terbuka.
"Kita harus terus berjaga-jaga karena jika terjadi perang terbuka, maka seluruh wilayah Asia Tenggara akan merasakan dampaknya," ujar Anggota Komisi I yang membidangi Luar Negeri ini.
Perseteruan di Laut Natuna Utara tidak boleh dianggap remeh. China membuat klaim sepihak terhadap Laut Natuna Utara berdasarkan “Sembilan Garis Putus-putus” (Nine-Dashed Line), di mana legitimasi China didasarkan pada sejarah penguasaan tradisional di masa lampau.
Sementara negara seperti Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, dan Malaysia, mengklaim sebagian wilayah Laut Natuna Utara masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) masing-masing. Fakta ini berpijak pada Konvensi Hukum Laut Internasional atau United Nations Convention on the Law of Sea (Unclos, 1982).
Konflik inilah yang akhirnya menyebabkan AS dan Inggris turut ikut campur.
"Sebagai kawasan yang paling merasakan dampak dari perseteruan di Laut Natuna Utara, ASEAN harus hadir juga sebagai jembatan dari masalah ini," kata Syarief yang sangat mendorong pendekatan diplomasi dengan semangat million friends and zero enemy. ***