Laut Natuna Utara Kembali Panas, Wakil Ketua MPR: Indonesia Siap Siaga, Ada Potensi Perang Terbuka

- 28 Januari 2021, 18:35 WIB
Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan / Twitter @syariefhasan
Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan / Twitter @syariefhasan /

JURNAL MEDAN - Laut Natuna Utara kembali memanas menyusul rencana pengerahan kapal induk terbaru Inggris ke wilayah yang diklaim China tersebut.

Kapal perang induk dengan nama HMS Queen Elizabeth berencana menjalani misi operasional pertamanya di Perairan Laut Natuna Utara.

Sebelumnya, Amerika Serikat (AS) telah mengirimkan dua kapal induknya yakni USS Nimitz dan USS Ronald Reagan ke Laut Natuna Utara untuk menjalani latihan tempur.

Baca Juga: DPRD Sumut Setuju Usulan Pemprov, Anggaran Penanganan Covid Rp271 Miliar

Selain kapal induk, Angkatan Laut AS sebelumnya telah mengerahkan masing-masing dua kapal penjelajah dan dua kapal perusak dalam latihan militer yang pernah digelar pada pertengahan tahun 2020.

Melihat kondisi yang terus memanas, Indonesia diminta mengambil sikap waspada. Wakil Ketua MPR RI, Syarief Hasan, mengatakan Laut Natuna Utara berbatasan langsung dengan Laut China Selatan yang sedang diperebutkan China, AS, dan beberapa negara lainnya.

Menurut dia, Laut Natuna Utara merupakan wilayah terluar Indonesia yang mesti dipertahankan.

"Sudah menjadi kewajiban Pemerintah untuk memastikan seluruh wilayah, termasuk wilayah terluar di Perairan Natuna Utara dalam kondisi aman," kata Syarief dalam siaran pers, Kamis, 28 Januari 2021.

Baca Juga: Pirlo Bicara Filosofi Pemain Muda di Skuad Juventus

Syarief mengingatkan kondisi memanas seperti ini jangan sampai dibiarkan terjadi lama karena berpotensi menimbulkan konflik perang terbuka.

"Kita harus terus berjaga-jaga karena jika terjadi perang terbuka, maka seluruh wilayah Asia Tenggara akan merasakan dampaknya," ujar Anggota Komisi I yang membidangi Luar Negeri ini.

Perseteruan di Laut Natuna Utara tidak boleh dianggap remeh. China membuat klaim sepihak terhadap Laut Natuna Utara berdasarkan “Sembilan Garis Putus-putus” (Nine-Dashed Line), di mana legitimasi China didasarkan pada sejarah penguasaan tradisional di masa lampau.

Sementara negara seperti Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, dan Malaysia, mengklaim sebagian wilayah Laut Natuna Utara masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) masing-masing. Fakta ini berpijak pada Konvensi Hukum Laut Internasional atau United Nations Convention on the Law of Sea (Unclos, 1982).

Konflik inilah yang akhirnya menyebabkan AS dan Inggris turut ikut campur.

"Sebagai kawasan yang paling merasakan dampak dari perseteruan di Laut Natuna Utara, ASEAN harus hadir juga sebagai jembatan dari masalah ini," kata Syarief yang sangat mendorong pendekatan diplomasi dengan semangat million friends and zero enemy. ***

Editor: Arif Rahman


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah