JURNAL MEDAN - Masyarakat Madani geram dengan ulah DPR RI yang mencopot Hakim MK (Mahkamah Konstitusi) Aswanto secara mendadak digantikan Guntur Hamzah.
Hakim MK Aswanto diberhentikan pada Kamis, 29 September 2022 dalam Rapat Paripurna ke VII Masa Sidang I Tahun 2022-2023.
Dalam keterangan kepada awak media, Masyarakat Madani menilai DPR melakukan pencopotan Aswanto dengan melanggar sistem dan dilakukan secara kasar.
"Merupakan tindakan yang melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan, anti demokrasi, sewenang-wenang, arogan, dan semakin menunjukkan sikap kecongkakan dari DPR RI," demikian keterangan Masyarakat Madani yang diterima Jurnal Medan, Selasa, 4 Oktober 2022.
DPR juga menunjukkan sikap ketidakpatuhan lembaga tinggi negara kepada supremasi konstitusi yang berkedaulatan rakyat.
Disebutkan bahwa Hakim Konstitusi merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Hakim MK juga tidak dapat diintervensi dan dipengaruhi dalam menjalankan tugas dan kewenangan dalam menjaga dan menegakkan Konstitusi.
Sikap DPR bertolak belakang dengan semangat menjaga indpendensi dan imparsialitas seorang Hakim Konstitusi dalam mengadili produk hukum yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang.
"DPR menunjukkan bukan hanya ketidakpahamannya, tapi juga mengobrak-abrik hukum dan tata kelola ketatanegaraan," kata peneliti Formappi Lucius Karus, salah satu elemen Masyarakat Madani.
Masyarakat Madani kemudian menyatakan tiga sikap sebagai bentuk protes terhadap ulah DPR RI:
1. DPR harus patuh dan tunduk pada Konstitusi, UU Mahkamah Konstitusi, Putusan MK, serta peraturan perundang-undangan lain terkait pengangkatan dan pemberhentian seorang Hakim Konstitusi.
2. DPR mesti mengubah keputusannya yang memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto dan memulihkan hak Aswanto sebagai Hakim Konstitusi.
3. Meminta kepada Presiden Jokowi untuk tidak menindaklanjuti proses penggantian Hakim Konstitusi Aswanto.
Pergantian Aswanto secara terang benderang tidak memiliki dasar hukum karena dilakukan bertentangan dengan konstitusi dan hukum yang berlaku.
Dalam keterangan tersebut Masyarakat Madani juga menjelaskan UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU MK yang menghapuskan periodesasi masa jabatan Hakim Konstitusi menjadi batas minimal dan maksimal seseorang dapat menjadi Hakim Konstitusi.
Baca Juga: PSI Temukan 9 Capres Lewat Rembuk Rakyat Online, Ganjar Pranowo Tertinggi, Anies Baswedan Gak Masuk
Ketentuan ini kemudian diuji dan di Putus oleh MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XVIII/2020, 96/PUU-XVIII/2020, 100/PUUXVIII, dan 56/PUU-XX/2022.
Putusan-Putusan tersebut menegaskan bahwa ketentuan peralihan masa jabatan Hakim Konstitusi diperlukan tindakan hukum untuk menegaskan pemaknaan ketentuan tersebut.
Lebih lanjut, mahkamah menerangkan bahwa tindakan hukum yang dimaksud adalah konfirmasi yang disampaikan oleh lembaga yang mengajukan Hakim Konstitusi yang sedang menjabat.
Konfirmasi dimaksudkan untuk menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatan Hakim Konstitusi yang bersangkutan dan tidak lagi mengenal adanya periodesasi masa jabatan.
Baca Juga: Y2mate: Yuk! Download Video YouTube Jadi Audio MP3 atau Video MP4 Gratis Tanpa Aplikasi
DPR malah menjadikan ini sebagai momentum untuk mengganti Hakim Konstitusi yang sedang menjabat.
"Semakin terang, sikap DPR merupakan langkah yang salah kaprah dalam memahami 4 (empat) Putusan MK di atas," kata Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini.
Adapun elemen Masyarakat Madani terdiri dari LSM, akademisi, peneliti kepemiluan, dan pakar hukum sebagai berikut:
ICW, Ray Rangkuti, Jeirry Sumampow, Muhammad Ihsan Maulana, Alwan Ola Riantoby, Ridaya Laodengkowe, Ahmad Wakil Kamal.
Kemudian Wahidah Suaib, Kaka Suminta, Fahmi Badoh, Lucius Karus, Ary Nurcahyo, Nurul Fata, Titi Anggraini, dkk.***