Orang Yang Boleh Tidak Berpuasa Ramadan

- 11 April 2021, 12:57 WIB
Ilustrasi Ramadan 1442 H atau 2021. Jadwal Puasa Ramadan 2021 untuk Wilayah Bandung dan Sekitarnya, Lengkap Beserta Jadwal Shalat
Ilustrasi Ramadan 1442 H atau 2021. Jadwal Puasa Ramadan 2021 untuk Wilayah Bandung dan Sekitarnya, Lengkap Beserta Jadwal Shalat /Pixabay.com/chiplanay

JURNAL MEDAN – Ibadah puasa di bulan Ramadan wajib bagi semua umat Islam yang sudah dewasa atau mereka yang sudah balig sebagaimana orang-orang terdahulu sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Hal ini sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti firman Allah yang tertuang dalam Surat Al Baqarah ayat 183 yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Baca Juga: Bukit Algoritma Alias Silicon Valley Indonesia Rp18 Triliun, Tak Pakai APBN dan Investor dari AS hingga Eropa

Pada tiap kalimat dalam ayat Surat Al Baqarah ayat 183 memiliki penjabarannya masing-masing, berikut penjabarannya:

Pada lafal pertama, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا yang artinya "Wahai orang-orang yang beriman:" memiliki makna tersendiri.

Imam Ath Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah: “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa”

Artinya perintah berpuasa ini diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya. Dengan begitu Allah hanya menerima puasa dari orang-orang beriman. Selain itu, ayat ini dimaknai dengan puasa adalah tanda kesempurnaan iman seseorang.

Baca Juga: Orang Yang Boleh Tidak Berpuasa Ramadan

Kewajiban berpuasa juga tertuang pada ayat ini. كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ yang artinya "diwajibkan atas kamu berpuasa".

Allah Ta’ala juga menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai wajibnya.

Namun demikian, ada sejumlah orang yang dibolehkan tidak puasa Ramadan dan ini sesuai  dengan dalil yang shohih, baik dalil aqli maupun naqli. Diantara mereka yang dibolehkan tidak puasa tersebut adalah:

Baca Juga: Kabar Gembira, Yenny Wahid: Jemaah Haji Kita Jadi Prioritas Pemerintah Kerajaan Saudi

  1. Musafir

Sebagaimana diriwayatkan hadits-hadits yang shahih dalam perkara ini, yaitu seorang musafir boleh untuk memilih di dalam berpuasa. Kita tidak melupakan bahwa rahmat Tuhan ini telah disebutkan di dalam Al-Qur’an yang Mulia, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang berfirman:

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ

Dan barangsiapa yang sakit dari kalian atau bepergian, hendaklah dia berbuka dan mengqadha’ dilain hari. Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kemudahan dan tidak tidak menginginkan bagi kalian kesulitan.” (QS. Al-Baqarah[2]: 185)

Hamzah bin Amr Al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah boleh aku berpuasa dalam safar?” -dan Hamzah bin Amr Radhiyallahu ‘Anhu terkenal sebagai orang yang  banyak melakukan puasa- maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda. “Berpuasalah jika engkau menginginkan dan berbukalah jika engkau menginginkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang bersafar boleh memilih hendak berpuasa atau tidak.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Aku pernah bersafar bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu bulan Ramadhan, orang yang berpuasa tidak mencela atas orang yang berbuka dan orang yang berbuka tidak mencela atas orang yang berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits-hadits ini memberikan faedah bolehnya memilih dan bukan sebuah keutamaan. Apabila orang yang berpuasa saat bersafar, maka dia bukan berarti lebih utama dibandingkan yang tidak berpuasa. Akan tetapi dimungkinkan berdalil keutamaan berbuka saat bersafar dengan hadits-hadits yang umum, di antaranya yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتِى رُخْصَهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتِى مَعْصِيَتَهُ

“Sesungguhnya Allah mencintai untuk keringanannya dikerjakan, sebagaimana Allah membenci untuk maksiatnya dilaksanakan.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dari ‘Abdullah bin ‘Umar dengan sanadnya yang shahih)

Hal ini telah dijelaskan dengan penjelasan yang tidak ada keraguan di dalamnya, diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata: “Para sahabat Nabi berpendapat bahwa barangsiapa yang mendapati kekuatan untuk berpuasa, maka baik baginya berpuasa, dan barangsiapa yang mendapati kelemahan lalu dia tidak berpuasa, maka baik baginya untuk tidak berpuasa saat safar.” (HR Tirmidzi, Al-Baghawi)

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan petunjuk kepada hambanya bahwa berpuasa saat bersafar, jika sulit atas seorang hamba, maka bukan kebaikan sama sekali, bahkan berbuka lebih utama dan lebih dicintai oleh Allah. Dalil akan perkara ini adalah apa yang diriwayatkan dari banyak para sahabat, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَيْسَ مِنَ الْبَرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ

“Bukanlah dari kebajikan berpuasa saat bersafar.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sayangnya masih ada sebagian orang mengira bahwa berbuka puasa pada zaman kita sekarang ini saat bersafar tidak diperbolehkan, mereka mencela atas orang yang mengambil keringanan dari Allah, atau berpendapat bahwa puasa lebih utama karena mudah dan banyaknya transportasi. Maka untuk orang-orang seperti ini, kita memberikan mereka peringatan kepada firman Allah Yang Maha Mengetahui akan hal ghaib dan terang benderang:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

Dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (QS. Maryam [19]: 64)

Begitu juga dalam surat Al-Baqarah:

وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah[2]: 232)

Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam ayat-ayat yang menyebutkan tentang keringanan berbuka saat bersafar:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menginginkan bagi kalian kemudahan, dan tidak menginginkan bagi kalian kesulitan.” (QS. Al-Baqarah[2]: 185)

Maksudnya adalah bahwa sesungguhnya kemudahan/keringanan bagi musafir adalah perkara yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan keringanan ini termasuk dari maksud syar’iat yang utama. Belum lagi yang mensyari’atkan agama ini, Dialah Allah yang maha pencipta masa, tempat dan manusia. Maka Allah lebih mengetahui keperluan-keperluan manusia dan apa saja yang baik dan memperbaiki mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Apakah Allah Yang Menciptakan itu tidak mengetahui; dan Dia Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk[67]: 14)

  1. Orang yang sakit

Allah Subhanahu wa Ta’ala membolehkan untuk orang yang sakit berbuka sebagai rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sebagai kemudahan. Penyakit yang diperbolehkan untuk berbuka adalah:

  • sakit yang menyebabkan jika berpuasa akan membahayakan,
  • atau bertambah penyakitnya,
  • atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya.

Jika sakitnya tersebut adalah sakit yang kronis, menahun, sulit diharapkan kesembuhannya, dan dia tidak sanggup untuk berpuasa, maka dia membayar .

  1. Haid dan Nifas

Para ulama berijma’ (bersepakat dalam sebuah perkara sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) bahwa wanita haid dan nifas tidak halal berpuasa, mereka berdua jika berbuka maka wajib mengqadha, jika mereka berdua puasa maka tidak sah puasanya. Dan ini akan dijelaskan insyAllah pada halaman 75-76.

  1. Orang tua renta laki-laki dan perempuan

Mereka juga diperbolehkan untuk tidak berpuasa karena mungkin saking lemahnya, saking tuanya, tidak sanggup untuk berpuasa, maka boleh untuk tidak berpuasa.

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata:

الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لا يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

“Laki-laki yang tua dan perempuan yang tua, tidak sanggup kedua-duanya untuk berpuasa, maka memberi makan setiap hari sebagai gantinya kepada seorang miskin.” (HR. Bukhari)

Diriwayatkan oleh Imam Daruquthni dan beliau shahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, beliau membaca ayat :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Orang-orang yang tidak sanggup untuk berpuasa, mereka membayar fidyah, memberi makan bagi orang miskin.” (QS. Al-Baqarah[2]: 184)

Abdullah bin Abbas berkata : “Dialah laki-laki yang tua, tidak sanggup untuk berpuasa lalu dia berbuka, maka dia memberi makan atas setiap harinya seorang miskin 1/2 sha’ gandum.”

1 sha’ setara 4 mud = sekitar 3 kg, maka 1/2 sha’ berarti sekitar 1,5 kg.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu : “Barangsiapa yang mendapati masa tua lalu dia tidak sanggup berpuasa pada bulan Ramadhan, maka hendaknya dia bersedekah di setiap harinya sebesar satu mud dari gandum.” (HR. Daruquthni 2/208 dalam sanadnya ada Abdullah bin Shalih dia lemah, tapi banyak riwayat-riwayat yang mendukungnya)

Dari Anas bin Malik, beliau tidak sanggup untuk berpuasa pada suatu tahun, maka beliau kemudian membuat makanan Tsarid dengan panci besar, kemudian beliau memanggil 30 orang miskin dan beliau beri makan sampai kenyang. (HR. Daruquthni, sanadnya Shahih)

Dari sini kita tahu bahwa ada dua cara memberikan fidyah. Yang pertama memberikan makanan siap santap 1 kali makan kenyang. Ada yang yang kedua yaitu bersedekah dengan makanan pokok 1/2 sha’ = 1,5 kg = 2 liter, baik itu beras, kurma, gandum, atau yang semisal.

  1. Wanita Hamil dan Menyusui

Termasuk agungnya rahmat Allah terhadap hamba-hambaNya yang lemah adalah Allah telah memberikan keringanan untuk mereka dalam perihal berbuka puasa. Termasuk dari mereka adalah wanita yang hamil dan wanita yang menyusui, mereka boleh berbuka.

Tapi ingat bahwa wanita hamil dan menyusui ini meskipun mereka diperbolehkan berbuka, pada asalnya mereka tetap disyariatkan untuk berpuasa. Maksudnya adalah jika wanita hamil dan menyusui merasa sanggup untuk berpuasa, maka hendaklah dia berpuasa. Dan sebagian dokter ahli kandungan mengatakan bahwa, jika memang seorang wanita hamil dan menyusui sanggup, maka tidak berpengaruh kepada janin ataupun bayinya untuk berpuasa.

Jadi, tidak serta merta wanita hamil dan menyusui itu kemudian langsung berbuka, tapi dilihat kondisinya. Jika memang dia sanggup, maka berpuasa lebih utama. Tapi jika dia ingin mengambil keringanan, ini diperbolehkan.

Dari Anas bin Malik Al-Ka’bi Radhiyallahu ‘Anhu berkata : “Kudanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terlambat mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ternyata beliau sedang makan, beliau bersabda, ‘Mari ke sini, ayo makan.’

Malik Al-Ka’bi berkata: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa Ya Rasulullah.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: ‘Mari sini, aku akan meriwayatkan kepadamu tentang puasa.

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membebaskan atas seorang musafir 1/2 shalat, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membebaskan atas wanita yang hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa.’ (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah. Sanadnya Hasan sebagaimana pernyataan Tirmidzi). ***

Editor: Arif Rahman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah