Hukum dan Cara Praktis Menghitung Zakat Perdagangan Individu dan Perusahaan

- 4 Mei 2021, 17:04 WIB
Ilustrasi pembayaran zakat maal di Baznas
Ilustrasi pembayaran zakat maal di Baznas /Baznas.go.id/

JURNAL MEDAN – Zakat Perdagangan atau Perniagaan ialah zakat yang dikeluarkan atas kepemilikan harta apa saja selain emas dan perak berupa barang, properti, berbagai jenis hewan, tanaman, pakaian, perhiasan dan selainnya yang dipersiapkan untuk diperdagangkan, baik secara perorangan maupun perusahaan.

Sebagian Ulama mendefenisikannya sebagai segala sesuatu yang dipersiapkan untuk diperjualbelikan dengan tujuan memperoleh keuntungan.

Hukum Zakat Perdagangan

Para ulama atau jumhur ulama (pendapat mayoritas) sepakat bahwa barang perdagangan wajib dikeluarkan zakatnya. Sebagian mereka mengatakan hal ini sesuai dengan ijma’ (konsensus) para sahabat dan tabi’in.

Baca Juga: Gaji Karyawan Raffi Ahmad Diduga Rp12.000.000, Netizen: Gua Mau Kerja di RANS, Nyari Kutunya Rafatar Gapapa

Mereka melandasi pendapatnya dengan dalil-dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, atsar para sahabat, tabi’in serta qiyas.

 A. Dalil Dari Al-Qur’ân Yaitu Firman Allâh Azza wa Jalla:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْض

 "Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh ) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu.” (al-Baqarah:267)

Imam al-Bukhâri telah membuat bab khusus tentang hal ini dalam kitab Zakat dalam Shahih-nya, yaitu: Bab Shadaqatu al-Kasbi wa at-Tijarati (bab zakat usaha dan perdagangan).

Baca Juga: Namanya Dicatut Pihak Cari Keuntungan, Ari Wibowo 'Ngamuk' di Instagram

Firman Allâh Azza wa Jalla , “Dari hasil usahamu,” maknanya ialah perdagangan.  

Dalil Dari As-Sunnah yaitu hadits Samurah bin Jundab Radhiyallahu anhu , ia berkata: “Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari apa yang kami persiapkan untuk diperjual-belikan.” (HR. Abu Daud no.1562, al-Baihaqi I/97, dan ad-Daruquthni).

Dan hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu secara marfu’:

فِى الإِبِلِ صَدَقَتُهَا ، وَفِى الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا وَفِى الْبَزِّ صَدَقَتُهُ    

Pada onta ada zakatnya, dan pada kambing ada zakatnya, dan pada pakaian ada zakatnya. (HR. Ahmad dalam al-Musnad V/179 no.7848, al-Baihaqi IV/147 no.7389),

Baca Juga: Tunda Bikin Laporan ke Polisi, Terry Putri Kini Ambruk, Terkena Masalah Psikologi?

Kata al-Bazz (di dalam hadits di atas) artinya pakaian, termasuk didalamnya kain, permadani, bejana dan selainnya. Benda-benda ini jika dipergunakan untuk kepentingan pribadi, maka tidak ada zakatnya tanpa ada perbedaan pendapat diantara para Ulama. Dari sini menjadi jelaslah bagi kita, bahwa yang dimaksud ialah jika benda-benda tersebut dijadikan obyek bisnis.

Hanya saja kedua hadits tersebut dha’if (lemah). Tetapi masih bisa berdalil tentang wajibnya zakat barang perdagangan dengan memasukkannya ke dalam keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu:

 فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ   

Beritahukan kepada mereka, bahwa Allâh mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari (harta-harta) orang-orang kaya diantara mereka…”.

Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang penolakan Khâlid bin Walid Radhiyallahu anhu membayar zakat, dan orang-orang (yakni para sahabat) mengadukannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Baca Juga: Gara-Gara Hal ini, Atalarik Syah vs Tsania Marwa Terus Saling Serang di Instagram

Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا ، قَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ  

 Adapun Khâlid, sesungguhnya kalian telah menzhaliminya. Dia menahan pakaian perangnya dan mempersiapkannya untuk perang fi sabilillah…”.(HR. al-Bukhâri II/534 no.1399, dan Muslim II/676 no.983).

B. Dalil Dari Atsar Para Sahabat

Diriwayatkan dari Ibnu Abidin al-Qari rahimahullah , ia berkata, “Dahulu aku bekerja di Baitul Mal pada masa (pemerintahan) Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu. Tatkala dia mengeluarkan pemberiannya, dia mengumpulkan harta-harta para pedagang dan menghitungnya, baik yang hadir maupun yang tidak hadir, kemudian mengambil zakat dari pemilik harta yang hadir dan tidak hadir.”

Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , ia berkata, “Tidak ada zakat pada barang-barang kecuali jika dipersiapkan untuk diperdagangkan.”

Baca Juga: Uang Pas-pasan, West Ham Jaga Asa ke Eropa Musim Depan, Jika Beruntung Liga Champions

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Tidak mengapa menahan barang hingga dijual, dan zakat wajib padanya.” (al-Amwâl, hlm.426, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla V/234).

Tidak ada satu pun dari kalangan sahabat yang menyelisihi perkataan Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu , putranya dan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhum. Bahkan hal ini terus diamalkan dan difatwakan pada masa tabi’in dan pada zaman Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Demikian pula para Ulama fiqih di masa tabi’in dan orang-orang yang datang sesudah mereka telah bersepakat tentang wajibnya zakat pada barang-barang perdagangan.

SYARAT-SYARAT DAN KETENTUAN ZAKAT PADA BARANG-BARANG PERDAGANGAN

  1. Barang-barang yang jadi obyek bisnis ini tidak termasuk barang yang asalnya wajib dizakati, seperti binatang ternak, emas, perak, dan sejenisnya. Karena menurut ijma’ para Ulama, dua macam kewajiban zakat tidak bisa berkumpul pada satu barang. Tetapi ia wajib mengeluarkan zakat barang-barang perdagangan itu –berdasarkan pendapat yang rajih-, karena zakat benda lebih kuat dalilnya daripada zakat perdagangan, karena telah terjadi ijma’ (konsensus para ulama) atas hal itu. Barangsiapa memperdagangkan barang-barang di bawah nishob benda-benda tersebut , maka ia harus mengeluarkan zakat perniagaan.
  2. Mencapai nishab, yaitu seukuran nishab uang (atau sama dengan nilai 85 gram emas murni).
  3. Barang-barang tersebut telah berputar selama satu tahun Hijriyyah.
  4. Kewajiban zakat ini dikenakan pada perdagangan maupun perseroan.
  5. Pada badan usaha yang berbentuk serikat (kerjasama), maka jika semua anggota serikat tersebut beragama Islam, zakat dikeluarkan lebih dulu sebelum dibagikan kepada pihak-pihak yang berserikat. Tetapi jika anggota serikat terdapat orang yang non muslim, maka zakat hanya dikeluarkan dari anggota serikat Muslim saja (apabila jumlahnya telah mencapai nishab).

KAPAN DIHITUNG NISHAB PADA HARTA PERDAGANGAN

Berkenaan dengan waktu perhitungan nishab harta perdagangan ada tiga pendapat:

Pertama: Nishab dihitung pada akhir haul (ini pendapat imam Mâlik dan imam asy-Syâfi’i).

Kedua: Nishab dihitung sepanjang haul (putaran satu tahun hijriyyah), dengan pertimbangan sekiranya harta berkurang dari nishabnya sesaat saja, maka terputus haul itu (ini madzhab mayoritas ulama).

Ketiga: Nishab dihitung pada awal haul dan di akhirnya, bukan di tengahnya (madzhab Abu Hanîfah).

BAGAIMANA MENGHITUNG DAN MENGELUARKAN ZAKAT HARTA PERDAGANGAN ?

Jika telah tiba waktu mengeluarkan zakat, maka wajib bagi pedagang untuk mengumpulkan dan mengkalkulasi hartanya. Harta yang wajib dikalkulasi ini meliputi :

  1. Modal usaha, keuntungan, tabungan (harta dan barang simpanan) dan harga barang-barang dagangannya.
  2. Piutang yang masih ada harapan dan masih ada kemungkinan akan dilunasi.

Ia menghitung harga barang-barang dagangannya lalu ditambahkan dengan uang yang ada di tangannya dan piutang yang masih ada harapan dan masih ada kemungkinan akan dilunasi, lalu dikurangi dengan utang-utangnya. Kemudian dari nominal itu, ia mengeluarkan sebanyak dua setengah persen (2,5 %) berdasarkan harga penjualan ketika zakatnya hendak ditunaikan, bukan berdasarkan harga belinya.

Inilah pendapat mayoritas Ulama fiqih dan disepakati oleh imam Mâlik rahimahullah.

Berikut ini rumus sederhana perhitungan zakat barang-barang perdagangan.

BESAR ZAKAT = [(Modal diputar + Keuntungan + Piutang yang dapat dicairkan) – (Hutang + Kerugian)] x 2.5%.

Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha (seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, Dll) nishabnya adalah 20 Dinar (setara dengan 85 gram emas murni).

Artinya jika suatu badan usaha pada akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja dan untung) lebih besar atau setara dengan 85 gram emas murni (asumsi jika per-gram Rp. 550.000,- = Rp Rp.46.750.000,-), maka ia wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. ***

Editor: Arif Rahman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah