Mengenal Hakikat Zuhud dan Wara. Apa dan Bagaimana dari Kacamata Ahlussunnah wal Jamaah?

- 25 Mei 2021, 14:50 WIB
Sebagai muslim yang beriman, sepatutnya kita memanjatkan doa ketika mengalami kesusahan dalam hidup dan meminta hanya kepada Allah SWT.
Sebagai muslim yang beriman, sepatutnya kita memanjatkan doa ketika mengalami kesusahan dalam hidup dan meminta hanya kepada Allah SWT. /Pixabay/Surugulll01


JURNAL MEDAN – Mungkin kita sering mendengar kata 'Zuhud' dan 'Wara'. Sebenarnya apa pengertian keduanya menurut ahlussunnah wal jamaah?

Zuhud secara bahasa pengertian berarti meninggalkan. Dan kata zahada itu berarti sedikit pada segala sesuatu. Zahid adalah sesuatu yang sedikit. Hakikat zuhud telah diungkap oleh para ulama salaf dengan berbagai macam tafsiran.

Dari berbagai perkataan ulama salaf dapat disimpulkan bahwa, zuhud adalah berpindah dari tergila-gila pada sesuatu beralih kepada sesuatu yang lebih baik.

Baca Juga: Asmara Kandas, Pria Bikin Akun Palsu Pakai Nama Mantan, Nekat Bakar Alquran hingga Viral dan Diciduk Polisi

Berarti zuhud adalah meninggalkan hal-hal yang melalaikan dari akhirat, beralih pada meninggalkan kesenangan duniawai dan sibuk pada dunia, lalu semangat menggapai akhirat serta mempersiapkan diri menuju negeri masa depan.

Termasuk dalam zuhud ini adalah meninggalkan yang haram dan makruh, juga meninggalkan hal mubah yang dapat melalaikan dari akhirat dan melalaikan dari melakukan amalan saleh.

Catatan: Zuhud ini bukan berarti kita tidak boleh mengurus dunia yang bisa mengantarkan untuk taat kepada Allah. Zuhud bukan berarti kita harus tinggalkan kebiasaan dunia secara umum, seperti meninggalkan jual beli, bertani, dan bekerja. Boleh saja kita mencari dunia asalkan tidak melalaikan dari persiapan akhirat, hati tetap tidak penuh pada dunia, dan mengharap apa yang ada di sisi Allah.

Ibnul Jalaa’ mengatakan, “Zuhud adalah memandang dunia itu akan fana, dunia itu kecil di matamu, sehingga jika di dunia itu ditinggalkan begitu mudah.” (Bashair Dzawi At-Tamyiz, 3:139, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 3:137).

Baca Juga: Keuangan Negara Defisit Rp138,1 Triliun, Sri Mulyani: Akibat Jumlah Belanja Lebih Besar Dibanding Pendapatan

Sebagian ulama salaf berkata, “Zuhud adalah ‘azuful qalb ‘anid dunya bi laa takalluf, yaitu hati tidak selamanya bersahabat dengan dunia tanpa ada rasa beban.” (Madarij As-Salikin, 2:11, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 3:137)

Imam Ahmad pernah ditanya mengenai seseorang yang memiliki uang 1000 dinar. Apakah ia bisa disebut sebagai orang yang zuhud? Jawab beliau, “Iya, bisa saja asalkan ia tidaklah terlalu berbangga bertambahnya harta dan tidaklah terlalu bersedih harta yang berkurang.” (Madarij As-Salikin, 2:11, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 3:138)

Ibnul Qayyim mendengar gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

الزُّهْدُ تَرْكُ مَالاَ يَنْفَعُ فِي الآخِرَةِ وَالوَرَعُ : تَرْكُ مَا تَخَافُ ضَرَرَهُ فِي الآخِرَةِ

“Zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang membawa mudarat di akhirat.”

Baca Juga: Harta Kekayaan Kepala BNPB Ganip Warsito Rp8,1 Miliar

Ibnul Qayyim lantas berkata, “Itulah pengertian zuhud dan wara’ yang paling bagus dan paling mencakup.” (Madarij As-Salikin, 2:10, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 3:138)

Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata bahwa yang dimaksud zuhud oleh Ibnu Taimiyah di atas adalah meninggalkan perkara mubah yang berlebihan yang tidak membantu dalam ketaatan kepada Allah.

Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan melanjutkan, adapun jika perkara mubah tersebut bermanfaat untuk negeri akhirat, lalu ada yang meninggalkannya (zuhud pada hal tersebut), maka tidak dinilai sebagai suatu ibadah (bukan bagian dari agama) — seperti meninggalkan berpakaian bagus padahal mampu dan ia anggap sebagai suatu ibadah, pen–. Melakukan seperti ini termasuk dalam ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Maidah: 87).

Baca Juga: Tradisi Perwira Aktif Berlanjut, Ganip Warsito Gantikan Doni Monardo Sebagai Kepala BNPB

Yang meninggalkan hal mubah yang bermanfaat untuk akhirat tadi adalah orang jahlun wa dhalalun, yaitu bodoh dan sesat. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

فَأَمَّا الزُّهْدُ فِي النَّافِعِ فَجَهْلٌ وَضَلَالٌ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” { احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُك وَاسْتَعِنْ بِاَللَّهِ وَلَا تَعْجِزَنَّ }

“Adapun zuhud dalam hal yang bermanfaat, maka itu termasuk kebodohan dan kesesatan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat untukmu, minta tolonglah kepada Allah, dan janganlah malas.” (HR. Muslim, no. 2664). (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:511)

 Apa yang dimaksud Wara'?

Wara’ berarti menahan diri, yaitu ‘iffah, menahan diri dari suatu yang tidak pantas.

Ada beberapa ungkapan para ulama salaf tentang wara’.

Baca Juga: Ulah Israel ke Palestina Tingkatkan Kekerasan ke Yahudi di AS, Muncul Ungkapan: Hitler Ternyata Benar!

Dari berbagai perkataan dapat disimpulkan, wara’ adalah menahan diri dari hal syubhat yang bisa jadi haram atau makruh. Orang yang wara’ meninggalkan perkara tadi agar tidak terjerumus dalam perkara yang dilarang. Ia hanya mau berpegang dengan sesuatu yang sudah jelas agar agamanya selamat.

Sufyan Ats-Tsaury berkata, “Aku tidaklah pernah memandang sesuatu yang lebih mudah dari wara’ yaitu apa saja yang meragukan, maka tinggalkanlah.” (Madarij As-Salikin, 2:22, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 10:138-139).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَالْوَرَعُ الْمَشْرُوعُ هُوَ تَرْكُ مَا قَدْ يَضُرُّ فِي الدَّارِ الْآخِرَةِ

“Wara’ yang disyariatkan adalah meninggalkan sesuatu yang mendatangkan mudarat untuk negeri akhirat.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 21:305, 10:21)

Maka yang dimaksud dengan wara’ ini adalah meninggalkan hal haram dan syubhat karena dapat mendatangkan mudarat. Hal ini akan dibahas dalam hadits Nu’man yang akan disebut kali ini.

Baca Juga: Bocoran Ikatan Cinta 25 Mei 2021: Aldebaran Masih Ragu-ragu untuk Memenuhi Permintaan Andin

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

أَنَّ الْوَاجِبَاتِ وَالْمُسْتَحَبَّات لَا يَصْلُحُ فِيهَا زُهْدٌ وَلَا وَرَعٌ ؛ وَأَمَّا الْمُحَرَّمَاتُ وَالْمَكْرُوهَاتُ فَيَصْلُحُ فِيهَا الزُّهْدُ وَالْوَرَعُ . وَأَمَّا الْمُبَاحَاتُ فَيَصْلُحُ فِيهَا الزُّهْدُ دُونَ الْوَرَعِ

“Perkara wajib dan sunnah tidak boleh di dalamnya ada zuhud dan wara’. Adapun perkara haram dan makruh, itulah baru ada zuhud dan wara’. Sedangkan perkara mubah hanya ada zuhud, tidak ada wara’.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:619)

Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata, “Dari sini dapat kita simpulkan bahwa zuhud itu lebih tinggi dari wara’. Wara’ itu meninggalkan hal yang berdampak mudarat. Sedangkan zuhud adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat. Karena sesuatu yang ditinggalkan demi akhirat itu ada tiga macam yaitu sesuatu yang membawa mudarat di akhirat, sesuatu yang tidak bermanfaat, sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak membawa mudarat.

Wara’ berarti meninggalkan sesuatu yang membawa mudarat di akhirat. Zuhud berarti meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat, maka tentu sesuatu yang mudarat untuk akhirat pasti ditinggalkan oleh orang yang zuhud. Maka setiap orang yang zuhud termasuk dalam wara’. Namun tidak setiap orang yang wara’ itu termasuk zuhud.” Lihat Minhah Al-‘Allam, 10:140.***

Editor: Arif Rahman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah