Polemik Jilbab: Jilbab Lambang Persatuan Bukan Perpecahan

26 Januari 2021, 08:20 WIB
Bersatu itu indah /jurnalmedan.com

JURNAL MEDAN - Persoalan mengenai jilbab atau penutup kepala disebut juga kerudung bagi seorang muslimah  kembali diperbincangkan dikalangan masyarakat Indonesia, sehingga issu ini menjadi issu nasional.

Viralnya persoalan ini di media sosial berawal dari unggahan video percakapan wali murid dengan pihak SMK Negeri 2 Padang terkait penggunaan jilbab bagi non muslim yang sebelumnya sudah menjadi peraturan tetap di sekolah itu.

Persoalan yang krusial ini tak pernah usai-usainya untuk dibahas, sehingga menyebabkan energi bangsa banyak habis terkuras akibat menyoalkan persoalan kecil bisa berdampak besar jika salah dalam mengambil kebijakan.

Baca Juga: Warga Simpang Dayak Ujung Kubu - Nibung Hangus Resahkan Kondisi Jalan

Untuk menyikapi persoalan ini tentu perlu diterapkan nilai-nilai universalisme kehidupan sehingga persoalan yang sepele ini tidak menjadi bumerang besar bagi persatuan Indonesia.

Adapun nilai-nilai universalisme itu dapat kita rujuk dalam sejarah penggunaan jilbab atau kerudung.

Memang dalam Islam penggunaan jilbab merupakan sebuah keharusan bagi setiap muslimah yang mesti dijalankan. Karena fungsi jilbab itu dalam Islam adalah menutup aurat. Adapun pakaian semacam jilbab ini digunakan para Birawati dan para Suster sebagai orang-orang panutan dalam agama Kristen dan Katholik.

Bahkan bunda Theresa salah satu tokoh panutan Kristen dan Katholik sepanjang hayatnya menggunakan jilbab berwarna putih bergaris biru di tengahnya merupakan sebuah lambang kepedulian dan keramahtamahannya antar sesama.

Baca Juga: Awas, Tren Kasus Covid-19 Terus Meningkat di Kabupaten/Kota Sumut

Kemudian, salah seorang Rabbi Yahudi bernama Rabbi Rachel menggunakan penutup kepala disertai pakaian seperti jubah dalam melaksanakan ibadah dan memimpin prosesi keagamaan.

Selanjutnya, pemakaian kerudung putih menutupi kepala disertai dengan pakaian panjang hingga ke mata kaki menutupi sekujur tubuh juga digunakan Dewi Kwan Im, Budha pembawa 20 ajaran 'wales asih'.

Hal yang persis sama pula yang dilakukan orang India yang umumnya penganut Hindu. Baju panjang hingga mata kaki disertai dengan kerudung menutupi kepala mereka merupakan pakaian mereka sehari-hari.

Baca Juga: Jumlah Penduduk Lebih Dari 1 Miliar, China Tegaskan Tak Ingin Bersaing Vaksin Dengan India

Sama halnya pula, tradisi penggunaan kerudung sebagai penutup kepala pula digunakan oleh orang-orang Eropa, terutama pada abad pertengan. Pakaian yang anggun ini bukan saja digunakan para kalangan kerajaan dan borjuis saja melainkan pula dipakai masyarakat biasa.

Begitu juga dengan orang Jepang, pakaian yang menutupi sekujur tubuh yang dilihat indah seperti jubah itu juga digunakan mereka.

Dengan begitu, realitas kehidupan bahwa penggunaan kerudung merupakan dari peradaban umat manusia, sehingga penggunaan kerudung itu melambangkan kebaikan dan ketaatan terhadap masing-masing keyakinan.

Melalui keterangan di atas dapat difahami bahwa hampir semua agama pernah menjadikan kerudung sebagai pakaian terhormat, simbol kebajikan, walaupun masing-masing daripadanya tidak mewajibkan penggunaannya.

Realitas ini menunjukkan bahwa kerudung seharusnya bukanlah sebagai pemisah persatuaan umat manusia di muka bumi,  melainkan sebagai bentuk persatuan dan persaudaraan. Realitas ini pula memberikan informasi bahwa klaim kerudung bukan milik satu agama atau kepercayaan melainkan melainkan milik bersama sehinga tidak pantas dikonotasikan pula kepada satu indentitas tertentu.***

Editor: Marzuki Manurung

Terkini

Terpopuler