KUHAP Tahun 1981 Cantumkan Telegram, Sidang HRS Secara Online Dinilai Tak Punya Basis Legal-Konstitusional

21 Maret 2021, 14:20 WIB
Sidang Habib Rizieq mundur Jumat depan /Pikiran Rakyat/

JURNAL MEDAN - Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid, menilai persidangan kasus Habib Rizieq Shihab (HRS) terkait kerumunan di Petamburan wajib digelar secara langsung dan tatap muka antara hakim, jaksa, terdakwa dan pengacara.

Menurut dia, persidangan kasus HRS yang gelar secara online yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) tidak memiliki basis legal konstitusional sebagaimana diatur dalam KUHAP.

"Persidangan pidana HRS secara online tidak mempunyai basis legal-konstitusional," kata Fahri Bachmid dalam keterangannya, Sabtu 20 Maret 2021.

Baca Juga: Induk Toyota Perintahkan Tarik Avanza dan Rush dll Dari Pasaran, Kunjungi Website Resmi Untuk Informasi Valid

Ia menuturkan, pelaksanaan persidangan secara elektronik untuk perkara pidana secara teknis yuridis mengalami kendala hukum, karena UU No. 8 Tahun tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur pranata persidangan yang demikian itu.

"Paradigma hukum yang diatur dalam KUHAP hanya mengatur terdakwa, saksi serta ahli yang dinyatakan dalam sidang untuk hadir secara langsung," jelas Fahri.

Persidangan langsung tatap muka, kata dia, dapat merujuk pada ketentuan Pasal 154, 159 dan 196 KUHAP, di mana hal itu tidak bisa ditafsirkan lain.

Kemudian KUHAP mendesain bahwa sidang dilangsungkan di gedung pengadilan dan pengaturan atribut pakaian bagi hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera.

Baca Juga: Hukum Memuliakan Tamu di Dalam Islam, Berikut Jadwal Shalat Kota Medan dan Sekitarnya 21 Maret 2021

Selain KUHAP, kata Fahri Bachmid, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur persidangan dihadiri tiga orang hakim dibantu panitera serta mewajibkan penuntut umum dan terdakwa untuk hadir.

"Secara teknis proses persidangan perkara pidana yang diatur dalam instrumen hukum acara pidana yang merupakan hukum positif dan publik dilakukan melalui tatap muka hakim, jaksa, terdakwa, dan penasihat hukum di dalam ruang sidang pengadilan," katanya.

Kehadiran secara fisik terdakwa dan saksi di ruang sidang pengadilan diatur dalam ketentuan Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, norma Pasal 185 ayat (1) KUHAP. 

Selanjutnya, ketentuan norma Pasal 189 ayat 1 KUHAP menyebutkan, “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”.

Baca Juga: Pesona Kevin De Bruyne, Si Raja Assist Dengan Gelar Pemain Serba Bisa Yang Dipuja Penggemar

"Ini merupakan problem yang sangat elementer dan tidak bisa direduksi oleh Beleid dibawahnya semisal PERMA ataupun SEMA," tukas Fahri Bachmid,

Dari sisi preseden, Fahri Bachmid memaparkan kasus pengadilan dalam pemeriksaan perkara kasus Bulog Gate tahun 2002 dengan terdakwa mantan Kabulog.

Ketika itu, pemeriksaan saksi Prof BJ.Habibie tidak dilakukan di depan sidang pengadilan, karena secara fisik BJ. Habibe berada di Jerman sehingga keterangannya disampaikan melalui media teleconference.

Menurutnya, secara prinsip KUHAP memberikan “exception” berdasarkan norma Pasal 162 ayat (1) yang membolehkan penyampaian keterangan saksi tanpa harus dilakukan di hadapan persidangan. 

Baca Juga: 21 Maret Jadi Hari Down Syndrome Sedunia, Simak 3 Fakta tentang Down Sindrom

Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab-sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan Negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan.

"Tapi konteks kaidah ini tentunya sangat berbeda dengan kepentingan dan sifat pemeriksaan terdakwa di depan atau di dalam persidangan untuk pembelaan diri tentunya," paparnya.

Fahri Bachmid, menjelaskan secara historis, pada saat penyusunan KUHAP tahun 1981 hanya mencantumkan teknologi telegram yang baru diakui pada saat itu. Artinya politik hukum pembentukan KUHAP pada tahun 1981 belum mengenal pranata persidangan dengan konsep online/daring seperti fenomena hukum saat ini.

Dengan adanya perkembangan teknologi informasi saat ini, persidangan online dapat digelar sepanjang memenuhi azas hukum acara pidana, yakni peradilan cepat, berbiaya ringan, sederhana, dan pertimbangan pemenuhan HAM, serta sejalan prinsip dan prosedur yang telah diatur dalam KUHAP.

Baca Juga: Ikatan Cinta Minggu 21 Maret 2021: Mama Rosa Kepo Terhadap Sosok Suami Masa Lalu Andin

"Tentunya dengan terlebih dahulu dengan melakukan revisi terhadap ketentuan hukum acara, agar persidangan online tetap berbasis pada kaidah hukum yang berlaku dan tidak boleh mengatur secara serampangan melalui produk hukum “Beleid” yang tingkatan hirarkisnya lebih rendah dari UU," jelasnya. ***

Editor: Arif Rahman

Tags

Terkini

Terpopuler