Tahapan Sedang Berjalan, SPD Sarankan Sistem Pemilu Dilakukan Lewat Open Legal Policy, Apakah Itu?

26 Januari 2023, 18:18 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) /MKRI.id/tangkap layar/

JURNAL MEDAN - Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) menilai sistem Pemilu yang akan digunakan pada masa pemilihan yang akan datang sebaiknya berdasarkan open legal policy.

Open legal policy dalam keterangan SPD yang dirilis pada Kamis 26 Januari 2023 yaitu sistem Pemilu dikembalikan kepada pembuat undang-undang.

Apalagi perdebatan terkait pergantian sistem Pemilu muncul saat tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan.

Baca Juga: Bawaslu Sudah Komunikasi Dengan Raksasa Medsos, Peserta Pemilu Dilarang Curi Start Kampanye di Media Sosial

"Akan lebih bijak apabila MK memutuskan sistem pemilu sebagai open legal policy," demikian keterangan pers SPD yang diterima wartawan.

Berikut ini penjelasan lengkap SPD terkait sistem pemilu "Di Antara Dua Pilihan: Tertutup atau Terbuka":

Pada akhir Desember 2022, Ketua KPU, Hasyim Asy'ari berbicara soal uji materi Pasal 168 Ayat (2) UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang sedang dibahas di Mahkamah Konstitusi (MK).

Hasyim menyampaikan, hasil putusan uji materi tersebut dapat berimplikasi pada pilihan sistem pemberian suara Pileg 2024.

Baca Juga: AMPD Laporkan Hasnaeni 'Wanita Emas' ke Bareskrim Polri, Dugaan Sebar Hoaks, Skenario Besar Penundaan Pemilu

Pasca pidato tersebut, beragam respon bermunculan baik dari politisi, akademisi, maupun pegiat pemilu.

Terlepas dari respon berbagai atas pidato ketua KPU, wacana tersebut berhasil menstimulus diskursus publik tentang perbaikan sistem kepemiluan Indonesia yang sempat kering ditengah tidak masuknya Revisi UU pihak Pemilu dalam agenda legislasi DPR.

Di tataran elit, delapan partai politik parlemen (kecuali PDIP) menolak wacana sistem pemilu proporsional tertutup. Delapan partai berargumen bahwa sistem proporsional terbuka merupakan kemajuan demokrasi.

Sehingga jika ada perubahan sistem ke proporsional tertutup, maka dinilai kemunduran demokrasi.

Baca Juga: Perangi Konten Negatif di Pemilu dan Pilkada 2024, Bawaslu Lanjutkan Kolaborasi Dengan Kominfo

Narasi yang berkembang setelahnya cenderung tidak berimbang dan mendiskreditkan salah satu sistem pemilu.

Terakhir, beberapa argumentasi mencoba mengaitkan sistem proporsional tertutup sebagai wujud kembalinya sistem ala Orde Baru.

Mengutip data International IDEA, dari 218 negara demokrasi, 101 diantaranya atau sekitar 46,3% menggunakan sistem mayoritas/pluralitas.

Sementara itu 86 negara (39,5%) menggunakan sistem PR (proporsional), 32 negara menggunakan sistem campuran (14,7%), dan 15 negara menggunakan sistem yang lain (6,9%).

Baca Juga: Jumlah Aduan di DKPP Diprediksi Terus Meningkat Seiring Bergulirnya Tahapan Pemilu 2024

Dari 86 negara yang memilih sistem proporsional, 84 menggunakan sistem proporsional terbuka (list PR), dan 2 menggunakan sistem proporsional tertutup (STV).

Dari beragam sistem yang dipilih, memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing dan tidak serta merta mengindikasikan sebuah negara demokrasinya lebih maju/tidak.

Dengan demikian, argumentasi yang menyatakan sistem proporsional terbuka lebih demokratis ketimbang proporsional tertutup kurang tepat.

Perdebatan antara sistem proporsional terbuka dan tertutup yang semakin tidak berujung justru menihilkan wacana yang lebih substansial yaitu sistem mana yang lebih selaras dengan tujuan UU Pemilu sebagai constraint utama.

Baca Juga: Ini Deretan Modus Pelanggaran Dana Kampanye di Pemilu, KPU dan PPATK Siapkan Langkah Pencegahan

Misalnya pilihan sistem mana yang lebih memberikan insentif terhadap pembentukan pemerintahan yang kuat, lembaga perwakilan yang efektif, dan sistem kepartaian yang sederhana.

Kemudian pilihan sistem mana yang dapat meningatkan proporsionalitas dan derajat keterwakilan, meningkatkan derajat kompetisi yang sehat, meningkatkan keterwakilan perempuan, mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, dan sebagainya.

Di tengah situasi semacam ini, penentuan penggunaan sistem pemilu, baik terbuka maupun tertutup tidak selayaknya dilakukan secara tergesa-gesa.

Terlebih dilakukan di tengah tahapan pemilu yang sedang berjalan. Akan lebih bijak apabila MK memutuskan sistem pemilu sebagai open legal policy, artinya dikembalikan kepada pembuat undang-undang.

Baca Juga: SEPAKAT! Muhammadiyah dan PBNU Tegaskan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 Berjalan Aman dan Damai

Sehingga dinamika revisi sistem pemilu dapat dikanalisasi oleh DPR, yang disertai dengan alasan, perdebatan akademis, desain, dan skema penetapan dari tiap fraksi.

Kendati pada akhirnya MK memutuskan sebaliknya, dan menerima sistem proporsional tertutup sebagai pilihan pada Pemilu 2024, tidak serta merta menutup ruang publik untuk mendapatkan caleg yang berkualitas.

Masih banyak mekanisme lain agar proses kandidasi caleg tetap membuka partisipasi luas.

Misalnya dengan memberikan kewenangan pada penyelenggara pemilu untuk melakukan pemantauan dalam proses kandidasi caleg sebelum DCT ditetapkan.

Baca Juga: Dahsyat!!! Cristiano Ronaldo Digaji Rp105 Ribu Per Detik di Al Nassr, Ini Rincian Per Bulan Hingga Per Tahun

Partai politik yang melanggar prinsip demokrasi, dapat melakukan kandidasi ulang sampai dinyatakan sesuai dengan regulasi.

Sehingga hal ini dapat mendorong demokratisasi internal partai politik sekaligus menarik dukungan pemilih.

Dengan melibatkan lebih banyak subjek dalam proses kandidasi (melalui konvensi atau yang sejenisnya), partai dapat membangun kohesivitas organisasi, selain lewat kesatuan ideologis.

Masih banyak ruang untuk mengupayakan pemilu yang demokratis.***

Editor: Arif Rahman

Tags

Terkini

Terpopuler