"Waktu pandemi karyawan sempat kita rumahkan, tetapi tetap digaji. Nah, kalo THR waktu itu sempat dicicil, tetapi kami pikir waktu itu operasional harus tetap jalan, apapun caranya," kata Darwito.
Tantangan terbesar pada saat itu adalah bagaimana menjadikan menu steak sebagai makanan resto menjadi makanan rumahan sehingga dipesan online oleh customer.
Sebelum pandemi, orang-orang menikmati menu steak dengan makan di lokasi yang nyaman sambil berkumpul bersama keluarga, teman, rekan bisnis, dan terjangkau oleh para mahasiswa.
Setelah pandemi, manajamen berusaha keras mengubah tagline steak makan steak di tempat yang melekat di kepala customer menjadi layanan takeaway.
"Nah ketika pandemi kami mengubah itu. Bahwa makan steak di rumah itu bisa dipesan online," ujar Darwito.
Kebetulan pandemi juga menjadikan harga tanah/properti menurun sehingga keuntungan yang didapatkan manajemen Waroeng Steak and Shake dimanfaatkan untuk dua hal.
Pertama, manajemen tetap harus menggaji karyawan. Kedua, keuntungan pandemi, meski kecil, diputar kembali untuk membuka cabang baru karena yakin pandemi pasti akan berakhir.
"Total karyawan kami saat ini sekitar 1500 orang, kalau di rata-rata per-outlet itu 20 sampai 25 karyawan," kata Darwito.