JURNAL MEDAN - Serangan cyber dan propaganda di media sosial kembali diidentifikasi sebagai salah satu potensi kerawanan Pemilu 2024.
Pemilu 2024 yang rumit terdiri dari pemilihan umum Presiden (Pilpres) dan Legislatif (Pileg) di bulan Februari kemudian Pilkada serentak di bulan November 2024.
Pemilu 2024 merupakan pemilihan kolosal pertama kali di Indonesia yang merupakan momentum dan terobosan mewujudkan pemilu yang efisien dan demokratis.
Selain pasangan capres-cawapres, terdapat pemilihan untuk 575 anggota wakil rakyat yang akan duduk di DPR RI dan 575 Anggota DPD RI dari seluruh provinsi yang harus dipilih.
Kemudian pemilihan 2232 anggota DPRD Provinsi seluruh Indonesia, termasuk 17340 anggota DPRD kab/kota, 33 Gubernur, dan 502 Bupati/Wali Kota.
Dengan kompleksitas tersebut, Pemilu 2024 memiliki potensi ancaman besar sehingga perlu diantisipasi potensi dengan mengambil langkah strategis.
Penulis buku Intelejen Pilkada Stepi Anriani menganalisis setidaknya terdapat 5 potensi ancaman dan kerawanan Pemilu 2024.
Baca Juga: Lawan Politik Uang, Bawaslu Bakal Kampanye Tagline 'Jangan Terima Uangnya, Laporkan Orangnya'
Salah satunya potensi serangan dan ancaman cyber hingga propaganda di media sosial yang sebenarnya juga dihadapi negara-negara, khususnya penganut demokrasi di dunia.
"Cyber attack di tahun politik 2023-2024. Ada beberapa jenis serangan seperti Hack, Crack kemudian Leak (kebocoran data) termasuk ketidakamanannya, Amplify (penyebarluasan info) dan Malware/Ransomware dll," kata Stepi Anriani dalam keterangan pers, Sabtu, 22 Oktober 2022.
Kemudian ancaman propaganda di media sosial seperti hoaks, berita palsu atau fake news, dan ujaran kebencian.
Ancaman propaganda jika terus dibiarkan dapat merambat kepada kampanye hitam (black campaign) dan terjadi polarisasi di masyarakat sehingga berkembang kepada konflik sosial.
Stepi juga melihat potensi dan ancaman selama tahapan dan proses Pemilu seperti tumpang tindih aturan/regulasi, persoalan teknis, beban kerja penyelenggara.
"Masalah hak pilih, penyebaran logistik sampai politik uang," ujarnya.
Selanjutnya potensi ancaman terkait ideologi yang berbahaya seperti radikalisme, terorisme dan separatisme.
"Konfik akibat gerakan separatis di Papua, misalnya, perlu dibuatkan pengelompokan agar memudahkan mitigasi resiko," kata Stepi Anriani.
Baca Juga: Bawaslu: 147.415 Orang Mendaftar Seleksi Panwascam, Tes CAT Serentak 14-16 Oktober 2022
Berikutnya potensi ancaman akibat perkembangan lingkungan strategis (Lingstra) seperti meningkatnya tensi di beberapa kawasan akibat Perang Rusia-Ukraina yang belum selesai.
Perang tersebut juga berdampak terhadap harga minyak dunia dan isu energi yang mengakibatkan resesi ekonomi dunia, perang dagang, dan lain-lain.
Menurut Stepi, kelima cluster ancaman tersebut perlu diperkuat dengan Threat Analysis dan sebaiknya dibuat Indeks Ancaman Nasional dari perspektif intelijen.
Sementara Bawaslu RI sebagai pengawas Pemilu 2024 saat ini sedang menyusun Indeks Kerawanan Pemilu.
"(Threat Analysis) ini diperlukan untuk melihat skor ancaman, mitigasi resiko dan gelar kekuatan personil yang akan diturunkan," pungkasnya.***