Ini Deretan Modus Pelanggaran Dana Kampanye di Pemilu, KPU dan PPATK Siapkan Langkah Pencegahan

19 Januari 2023, 23:00 WIB
Anggota KPU RI Idham Holik /Arif Rahman/Jurnalmedan.com

JURNAL MEDAN - Anggota KPU RI Idham Holik mengatakan akan mencegah pelanggaran dana kampanye melalui kolaborasi dengan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).

KPU, kata dia, akan mengambil langkah preventif agar aliran dana ilegal tidak masuk kepada kontestan Pemilu 2024 untuk kegiatan kampanye.

KPU bersama PPATK juga berupaya mencegah praktik pencucian uang hasil kejahatan yang disalurkan melalui peserta Pemilu. 

Baca Juga: Kata Survei, Partai Golkar Paling Dikenal Pelaku Usaha, Elektabilitas Airlangga Tertinggi

Salah satu upaya preventif tersebut adalah KPU dan PPATK saling tukar informasi.

"Kerja sama dengan PPATK dalam rangka untuk terus memastikan Pemilu di Indonesia adalah Pemilu berintegritas," kata Idham Holik dalam rapat koordinasi PPATK di Jakarta, Kamis, 19 Januari 2023.

Sementara itu, PPATK mengungkap sejumlah modus pelanggaran aturan pengumpulan dana kampanye yang biasa dilakukan peserta Pemilu.

Modus pelanggaran ini diambil berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 34 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye.

Baca Juga: Pendaftaran Calon Ketum BPC HIPMI Tapsel Ditutup Hari Ini, Uang Daftarnya Rp100 Juta

Berikut modus pelanggaran dana kampanye sebagaimana dijelaskan Deputi Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan PPATK, Maimirza.

1. Adanya penerimaan dana kampanye yang melebihi batasan sumbangan dana kampanye dari pihak lain perseorangan dengan memecah-mecah transaksi sumbangan

Sebagai informasi, berdasarkan PKPU 34 tahun 2018 tentang dana kampanye, pasangan capres-cawapres hanya boleh menerima dana sumbangan dari perseorangan maksimal Rp 2,5 miliar.

Kemudian penerimaan dana sumbangan dari kelompok/perusahaan maksimal Rp 25 miliar. Ketentuan yang sama juga berlaku bagi calon anggota DPR dan DPRD. 

Baca Juga: KPU Petakan TPS Lokasi Khusus Melibatkan 7 Kementerian, Datanya Terus Bergerak

Sedangkan calon anggota DPD hanya boleh menerima dana sumbangan dari perseorangan maksimal Rp 750 juta, dan maksimal Rp 1,5 miliar dari kelompok atau perusahaan.

Semua dana kampanye yang diterima capres-cawapres, caleg, dan calon anggota DPD harus melalui Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK)

2. Menerima dana sumbangan melalui rekening pribadi, bukan melewati RKDK.

Transaksi via rekening pribadi ini dilakukan agar dana yang diterima bisa melebihi batas maksimal. 

Baca Juga: Baca Manga Komik Boruto Chapter 77 Bahasa Inonesia, Rencana Code Menyerang Konoha, Simak Spoiler Raw Scan

3. Penyumbang dana menyerahkan uang secara tunai kepada kontestan pemilu.

Kenapa uang secara tunai ini dilarang? Alasannya karena profil penyumbang tidak bisa diidentifikasi. 

4. Modus pemanfaatan sarana rekening lainnya yang tidak terdaftar sebagai RKDK, tetapi digunakan untuk menampung dan menggunakan dana.

Menurut Maimirza, mayoritas kondisi RKDK hanya untuk sarana penampungan dan kamuflase transaksi.

Baca Juga: PPATK: Pengalaman Buktikan Kejahatan Luar Biasa Green Financial Crime Pernah Mengalir ke Pendanaan Politik

5. Memanfaatkan koperasi untuk menghimpun dana kampanye dan memindahkan dana kampanye.

6. Menggunakan petugas partai atau pihak ketiga di luar tim pemenangan sebagai pengelola dana. Dengan begini, dana tak tercatat sebagai sumbangan. 

7. Penjualan valas dalam jumlah signifikan dari peserta pemilu maupun petugas partai.

Modus ini, kata dia, digunakan berupa Cash to Cash maupun Cash to Account.*** 

Editor: Arif Rahman

Tags

Terkini

Terpopuler