"Artinya agama dan tempat ibadah tidak diakui sebagai tempat yang layak untuk melakukan kira-kira politik yang damai, malah diusir," tegasnya.
Gus Jazil menceritakan pengalamannya saat berkampanye di Dapil melalui mesjid. Ketika itu satu-satunya tempat yang layak adalah mesjid dan Musholla.
Sementara di setiap pesantren atau kampus terdapat aula yang kebanyakan mendapatkan bantuan dari pemerintah.
"Itu saya dilaporkan kampanye di mesjid, dia (warga) semua aktivitasnya, mau kumpul apapun ya di mushola itu. Artinya mushola itu hanya sebuah nama, sebenarnya fungsinya tempat serbaguna."
Baca Juga: Lagi, KPU Gelar Sosialisasi Sipol Untuk Vermin Perbaikan 5 Parpol yang Gugatannya Dikabulkan Bawaslu
Lain halnya dengan fasilitas Pemerintah yang tentu saja dilarang keras untuk kampanye dan mengajak memilih. Terkait hal ini Gus Jazil sangat setuju.
"Saya terus terang, kalo begini aturannya, apa sih yang dikhawatirkan kampanye di kampus? Katanya kita ingin mendirikan politik? Katanya agama sumber perdamaian? Dijauhkan dari politik atas nama perang antar agama? dari mana itu?," jelasnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin melihat gejala apolitik mulai muncul di kalangan pemilih muda.
Menurut dia, persoalan ini harus segera ditemukan akar permasalahannya. Problem pertama menurut Yanuar adalah minimnya sosialisasi.