Publik dan Gen Z, menurut dia, tidak bisa membedakan mana informasi yang dikerjakan mengikuti kaidah jurnalistik yang tepat, dan mana yang tidak punya ruang redaksi untuk memutuskan judul atau angle.
"Saya sering bilang kawan-kawan di media massa berbasis internet, jangan mengandalkan sound biting atau clickbait. Tapi coba bayangkan akun media sosial," ujarnya.
"Saya punya doktrin untuk kawan-kawan di media kami, saya selalu bilang, tidak juga harus menghindar dari sosial media. Sosial media adalah fakta di media digital yang harus dimaknai. Justru, ruang redaksi media massa harus menjadi clearing house terhadap semua informasi yang beredar di medsos. Media massa berbasis internet, medsos harus saling melengkapi. Karena kualitas demokrasi ditentukan oleh pilihan, one man one vote," jelas Teguh.
Praktisi Medsos dan Communication Spesialist Institut STIAMI Geofakta Razali menilai Gen Z adalah generasi pintar.
Menurut dia, ketika ada Informasi yang dianggap hoaks mereka akan melakukan konfirmasi atas informasi tersebut.
Keterlibatan pemilih milenial dalam Pemilu Serentak 2024, menjadi satu kelompok yang baru peduli secara wacana, namun belum bisa ikut berpartisipasi secara aktif dalam dunia politik.
“Masalahnya adalah, ‘they know the important of politic, mereka punya attention terhadap politik. tapi mereka nggak bisa langsung terjun ke politik, karena masih pada tahap attention,” papar Geo.
Meskipun masih dalam tahap attention, hal ini tidak bisa disimpulkan sebagai suatu perilaku pasif dalam berpolitik, karena persepsi mereka ambil dari experience mereka termasuk dari generasi sebelum mereka.