Bawaslu: Pemahaman Masyarakat Terhadap Hoaks Masih Terbatas, Termasuk Bingung Cara Melaporkan

1 Desember 2022, 09:23 WIB
Anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty diwawancarai wartawan di sela Rakornas dengan media massa nasional di Kota Batu, Jawa Timur, Senin (28 November 2022) /Arif Rahman/Jurnalmedan.com

JURNAL MEDAN - Bawaslu RI menyebut salah satu tantangan menghadapi hoaks dan disinformasi adalah cara melaporkan dan pemahaman tentang hoaks itu sendiri.

Anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty menyebut tantangan melaporkan hoaks dari masyarakat adalah karena pemahamannya masih terbatas.

"Mana yang melanggar dan tidak melanggar, masih perlu literasi soal pengawasan kepemiluan kita," kata Lolly Suhenty dalam diskusi daring yang digelar Mafindo, Rabu, 30 November 2022.

Baca Juga: Bawaslu Sebut Sumber Dana Lembaga Survei Terakreditasi KPU Harus Jelas, Bagaimana Jika Tidak Terakreditasi?

Situasi tersebut membuat Bawaslu terus mengembangkan ruang untuk pembelajaran masyarakat. Misalnya membuka banyak ruang belajar bersama.

Menurut Lolly, semua pihak perlu berkolaborasi menangani tantangan hoaks dan disinformasi di Pemilu 2024. Misalnya dengan mendorong komunitas digital kepemiluan.

"Ini akan terbangun percakapan yang mengedukasi publik, seluruh kelompok kepentingan, komunitas, hobi, akan hadir dalam ruang-ruang percakapan ini," kata Lolly Suhenty.

Kata dia, Bawaslu perlu menyiapkan ruang-ruang digital agar proses kolaborasi jalan. Salah satu yang dilakukan Bawaslu adalah komunitas Jarimu Awasi Pemilu.

Baca Juga: Bawaslu Pantau Politik Uang Lewat OVO, DANA, GoPay dll, Masuk Dalam Indeks Kerawanan Pemilu 2024

Sebelumnya, Peneliti Perludem Mahardhika meminta KPU dan Bawaslu menciptakan mekanisme tranparansi kampanye di media sosial untuk melawan hoaks dan disinformasi.

KPU maupun Bawaslu seharusnya bisa membuat aturan yang memungkinkan transparansi dari setiap gerak kampanye kandidat, khususnya di jagat dunia maya.

UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dianggap kurang adaptif terhadap perkembangan digital, khususnya terkait hoaks dan disinformasi pemilu.

Maka turunan di Peraturan KPU (PKPU) maupun Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) harus mengakomodasi kampanye yang transparan tersebut.

Baca Juga: Politik Uang Bisa Dilakukan Melalui Transfer Dana Masif Via OVO, DANA, GoPay dll

"Kalau ada landasan hukum kuat di PKPU atau Perbawaslu, koordinasi dan komunikasi semua pihak bisa berjalan baik, kemudian akuntabilitasnya bisa kita jaga," kata Mahardhika dalam kesempatan yang sama.

Mahardika menceritakan pengalaman di Pemilu 2019 saat semua pihak menyuarakan kolaborasi, tapi ketika kolaborasi dijalankan tanpa landasan hukum kuat, maka hasilnya tak maksimal.

"Apa yang dihasilkan kolaborasi itu kadang tidak mengikat satu sama lain," ujarnya.

Tantangan besar lainnya melawan hoaks dan disinformasi adalah kesulitan menjangkau dalang/otak di balik produksi berita atau kampanye hitam.

Baca Juga: Eks Koruptor Boleh Maju Caleg 5 Tahun Usai Bebas Penjara, KPU Konsultasi ke Presiden dan DPR: DPD Termasuk?

Transparansi dan akuntabilitas kampanye menurut Mahardhika bisa menjadi solusi agar pengawasan dan pemantauan hoaks/disinformasi lebih baik.

Adapun pihak-pihak yang dituntut menjalankan transparansi dan akuntabilitas dimulai dari penyelenggara, platform, hingga peserta atau kandidat di Pemilu 2024.

"Kita agak susah menjangkau, siapa sih mastermind penyebaran disinformasi seperti ini," ujarnya.

Mahardika melihat iklan-iklan di media sosial, termasuk iklan yang bermuatan disinformasi, sebenarnya bisa dibuka dalam berbagai aspek.

Baca Juga: Audiensi dengan FISIP UNPAD, KPU Ajak Mahasiswa Jadi Anggota KPPS di Pemilu 2024 Melalui MBKM

"Siapa yang memasang iklan di media sosial, afiliasinya dengan kandidat seperti apa, kita bisa mengawasi iklan di medsos itu," ujar Mahardhika.

Tentu saja pengawasan dan pemantauan butuh sinergi yang kuat. Masalah muncul ketika masing-masing pihak masih bergerak sendiri-sendiri tanpa ada sinergi yang kuat. ***

Editor: Arif Rahman

Tags

Terkini

Terpopuler