Munafik, Feodal, Hingga Percaya Takhayul: Karakter Manusia Indonesia Menurut Mochtar Lubis, Masih Relevan?

8 Maret 2023, 00:17 WIB
Diskusi Publik: Membaca Ulang Manusia Indonesia Mochtar Lubis yang digelar PPI Italia, Selasa, 7 Maret 2023 /Screenshot

JURNAL MEDAN - Mochtar Lubis, seorang jurnalis, tokoh pers, dan sastrawan pernah mendefinisikan Manusia Indonesia melalui enam sifat atau karakter.

Manusia Indonesia, menurut Mochtar Lubis, memiliki sifat hipokrit atau munafik, segan atau enggan bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, berwatak lemah, dan artistik.

Dosen Antropologi Universitas Indonesia (UI) Geger Riyanto menilai definisi Manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis sebagai sinisme yang produktif.

Baca Juga: Pemain Madura United Ricki Ariansyah Kolaps Saat Lawan PSIS Semarang, Begini Kronologinya

Sinisme, kata Geger, terlihat dari upaya Mochtar Lubis menggambarkan karakter orang Indonesia yang amat buruk sehingga bisa menimbulkan stereotype.

Tetapi, dilihat dari sisi produktivitas sebenarnya ke-enam karakter tersebut bisa menjadi sebuah pelajaran yang masih sengat relevan hingga saat ini.

Bahwa Manusia Indonesia perlu berubah dan membangun karakter yang lebih kuat, lebih positif, agar menumbuhkan produktivitas dan daya saing.

"Kita tidak mungkin mendefinisikan 270 juta orang Indonesia dengan 6 karakter yang disebutkan Mochtar Lubis," ujar Geger dalam diskusi publik yang digelar Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Italia, Selasa, 7 Maret 2023.

Baca Juga: KPU Matangkan Persiapan Banding Melawan Putusan PN Jakpus Terkait Permintaan Pemilu Ditunda

Menurut Geger, bisa jadi kesimpulan Mochtar Lubis tersebut berdasarkan pengalaman pribadi. Lebih jauh, definisi itu diungkapkannya tanpa data.

Sebagai orang Batak dari Sumatera, Mochtar Lubis memiliki pandangan tersendiri karena ia lama bergaul dengan level masyarakat tertinggi hingga terendah di tanah Jawa.

Namun di sisi lain Geger juga melihat Mochtar Lubis sebenarnya menggambarkan karakter manusia yang universal.

Seperti horoskop atau ramalan zodiak, di mana semua orang memiliki kisah dan prediksi tersendiri mengenai jalan hidupnya masing-masing.

Baca Juga: WNA Mohon Jaga Sikap! Dirjen Imigrasi Tegaskan Indonesia Hanya Terima Warga Asing yang Bermanfaat

"Ini kita bicara dari sudut pandang Mochtar Lubis bahwa pada saat yang sama, sebenarnya ia melihat secara universal, seperti horoskop. Jadi bisa dipakai di masa lalu, tetapi bisa dipakai zaman sekarang agar kita lebih produktif," jelas Geger yang baru saja meraih gelar PhD dari Heidelberg University, Jerman.

Sofie Syarief, eks jurnalis Kompas TV, punya sudut pandang menarik dalam melihat definisi Manusia Indonesia dari Mochtar Lubis.

Sofie menilai enam karakter tersebut sebagai autokritik untuk para wartawan sekaligus pembelajaran.

Sofie yang kini sedang menuntut ilmu di Goldsmith, University of London, hanya mengambil 3 dari 6 karakter Manusia Indonesia yang digambarkan Mochtar Lubis.

Baca Juga: Foto Terbaru Mat Solar Bajaj Bajuri Kena Stroke dan Makin Kurus, Netizen Doakan Cepat Sembuh

Ketiga sifat/karakter itu adalah feodal, percaya takhayul, serta berwatak lemah. Menurut Sofie, ketiga sifat itu paling kuat dan terasa sangat Jawa sentris.

Mochtar Lubis mengatakan akan ada ekspektasi tertentu ketika seseorang memegang jabatan atau kekuasaan.

Sifat feodal di Indonesia, misalnya, bawahan harus tahu diri, atasan selalu benar, atasan tidak untuk dikoreksi, orang lebih tua selalu benar, itu semua mengganggu perkembangan Manusia Indonesia.

Mochtar Lubis berupaya menggarisbawahi relasi antara pejabat dan rakyat, ibarat relasi bapak dan anak yang harus 'nurut' dan patuh.

Baca Juga: Sinopsis Anupamaa 7 Maret 2023: Kesal, Kavya Cemburu Lihat Kedekatan Vanraj dan Malvika, Anupama Heran

Nah, sifat inilah yang harus dihilangkan oleh seorang jurnalis saat berhadapan dengan narasumber, terutama pejabat negara.

"Wartawan sering menempatkan diri mereka dalam posisi seperti ini," kata Sofie.

Padahal, kata dia, seorang jurnalis bertugas mengejar akuntabilitas pejabat publik namun faktanya ada beberapa jurnalis yang kagum atau bahkan ketakutan.

"Yang ada perasaan wow, saya wawancarai menteri lho, saya mewawancarai Presiden lho," kata dia.

Baca Juga: CEK FAKTA Prajurit TNI Mutilasi Seorang Ibu Warga Asli Papua, Beredar Foto-foto di Media Sosial

Dalam kondisi tersebut seorang jurnalis akan kesulitan untuk menjadi watchdog atau menggali pertanggungjawaban pejabat publik.

Pada saat itulah seorang jurnalis gagal melaksanakan fungsinya menggali pertanggungjawaban dan akuntabilitas dari pejabat. Padahal sejatinya antara jurnalis dan narasumber harus Egaliter.

"Karena prinsipnya antara wartawan dan narasumber itu Egaliter. Level dagunya sama dengan narasumber ketika berhadapan," ujarnya.

Manusia Indonesia juga kerap membuat lambang dan akrobat semantik. Gara-gara hal ini jurnalis terjebak sendiri di dalam pekerjaannya.

Baca Juga: Pemda Pastikan Pasokan Pangan Cukup Kendalikan Inflasi, Cek Langsung Harga Komoditas di Pasar-pasar

"Jadi wartawan itu terbiasa melakukan pernyataan narasumber sebagai sesuatu yang harus ditulis," kata Sofie.

Dalam situasi itu para jurnalis akhirnya lupa membuat pertanggungjawaban dan kehilangan kemampuan menggali akuntabilitas dari pejabat publik.

"Pertanyaan yang diajukan wartawan mungkin semacam 'memaklumi', ujung-ujungnya berpikir ya udah gitu aja deh," ujar Sofie.

Manusia Indonesia juga memiliki watak yang lemah. Menurut Sofie, orang Indonesia senang sekali berada di tengah-tengah, tidak mampu tegas mengambil suatu posisi.

Baca Juga: Satsetsatset, Relawan Sahabat Setia Deklarasi Erick Thohir Sebagai Calon Presiden 2024

Misalnya, Indonesia memiliki politik luar negeri Bebas-Aktif dan ideologi Pancasila yang berada di tengah, seolah-olah semua pemikiran bisa masuk di situ.

Dalam hal ini Sofie tidak sepakat dengan cover both side yang sudah menjadi pakem atau konsep paling tinggi dalam jurnalisme di Indonesia.

Salah satu contohnya ketika seorang jurnalis menggali pertanggungjawaban pejabat namun kemudian dianggap adil ketika mengutip pernyataan humas.

"Menurut saya cover both side ini jadi remang-remang. Misalnya ada pelanggaran dari sudut pandang CSO, kemudian di sisi lain cover both side ambil pernyataan humas. Ini akan jadi perdebatan semata," kata dia.

Baca Juga: Rara Pawang Hujan Tidak Laku di WSBK Mandalika, Doa dan Istigosah Lebih Manjur, Meminta Kepada Pemilik Hujan

Wartawan, kata Sofie, harus benar-benar membuktikan atau mencari tahu hingga merasakan.

"Kalau dibilang hujan di luar apakah diterima begitu saja? Maka kita harus cek dan keluar apakah ini benar-benar hujan, apakah ada air menetes dari langit," ujarnya.

Pengajar Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Suwignyo menilai karakter Manusia Indonesia versi Mochtar Lubis bukanlah ciri-ciri individu masyarakat.

Keenam sifat itu juga bukan karakter Manusia Indonesia, tetapi representasi kategori sosial dari suatu kolektif warga masyarakat.

Baca Juga: Ramalan Zodiak Hari Ini Aquarius Pisces: Suasana Baik Jadi Pengalaman yang Menyenangkan

Secara kolektif, bisa saja enam karakter itu dibenarkan namun Agus Suwignyo sepakat definisi Manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis datang dari pengalaman hidupnya.

"Mungkin Mochtar Lubis berpikir seperti itu karena kekecewaan atas suatu hal, tetapi ini harus ada penelitian untuk menjawab semua itu," kata Agus Suwignyo.

Definisi Manusia Indonesia juga menggambarkan bagaimana kritik sosial di masa Orde Baru mandeg atau tumpul.

Namun jika pernyataan Mochtar Lubis itu disebutkan pada masa sekarang bisa dipastikan viral atau menjadi pembicaraan banyak orang.*** 

Editor: Arif Rahman

Tags

Terkini

Terpopuler