Apalagi informasi perkembangan verifikasi faktual partai politik tidak tergolong sebagai informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU KIP.
Bukan cuma itu, rezim ketertutupan KPU ini juga melanggar Pasal 3 huruf f dan i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait prinsip Terbuka dan Akuntabel penyelenggaraan pemilu yang dilakukan oleh KPU.
Pada bagian lain, tertutupnya akses masyarakat terhadap Sipol yang dilakukan oleh KPU juga turut menyinggung prinsip Penyelenggara Pemilu seperti tertuang dalam Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum (PerDKPP 2/2017).
Lebih spesifik, tindakan menutupi akses Sipol melanggar Pasal 6 ayat (2) huruf d, Pasal 6 ayat (3) huruf d, dan Pasal 6 ayat (3) huruf i PerDKPP 2/2017 tentang Akuntabel, Terbuka, dan Kepentingan Umum.
Dugaan pelanggaran di atas tentu menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat, salah satunya menyoal kebenaran proses verifikasi faktual partai politik.
Bukan tidak mungkin, di dalam rezim ketertutupan tersebut terdapat oknum-oknum yang berupaya untuk menguntungkan partai politik tertentu dengan cara meloloskannya menjadi Peserta Pemilu.
Untuk lebih memudahkan, berikut pola kecurangan yang mungkin terjadi selama proses verifikasi faktual partai politik.
Pertama, partai politik yang dianggap tidak memenuhi syarat menggunakan praktik-praktik kecurangan, misalnya menyuap penyelenggara pemilu agar diloloskan sebagai Peserta Pemilu tahun 2024 mendatang.