Kedua, adanya intervensi atau bahkan intimidasi dari struktural KPU RI kepada penyelenggara pemilu di daerah untuk meloloskan partai politik tertentu.
Baca Juga: Pelapor Zulhas Yakin Laporan Dugaan Pelanggaran Kampanye Anies Baswedan di Bawaslu Bakal Ditolak
Praktik lancung ini menjadi hal yang sangat mungkin terjadi dan bentuknya bisa beragam, mulai dari rotasi pegawai KPU, pengurangan anggaran, atau bahkan ancaman untuk tidak memilih jajaran struktural penyelenggara pemilu daerah saat pemilihan tahun 2023 mendatang.
Melihat kemungkinan terburuk sebagaimana digambarkan di atas, maka pihak Penyelenggara Pemilu dapat ditindak, baik secara hukum maupun etik, jika melakukannya.
Dari aspek hukum pidana, struktural KPU yang menerima suap dari peserta verifikasi partai politik dapat dikenakan delik penyuapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan dari aspek etika, jajaran KPU dapat dikenakan Pasal 8 huruf a, Pasal 10 huruf a, Pasal 15 huruf d, dan Pasal 19 huruf f PerDKPP 2/2017 tentang prinsip Mandiri, Adil, Profesional, dan Kepentingan Umum.
Kejanggalan pada tahapan verifikasi partai politik sudah terlihat sejak munculnya pelanggaran yang dilakukan KPU pada tahapan verifikasi partai politik yang hadir sejak awal bergulirnya tahapan ini.
Perlu diingat, bahwa Bawaslu Provinsi sempat mengeluarkan puluhan putusan yang menyatakan KPU Kabupaten/Kota telah melakukan pelanggaran administrasi akibat dilakukannya video call pada saat verifikasi administrasi keanggotaan partai politik, yang jika diusut lebih jauh pelaksanaan video call tersebut merupakan instruksi langsung dari Ketua KPU RI via komunikasi whatsapp.
Dengan kata lain, hal tersebut membuktikan adanya ketidakprofesionalan KPU dalam menjalankan tahapan verifikasi partai politik ini.