Dalam hal ini, kata dia, KPU hanya sekedar menyampaikan kepada partai politik yang bersangkutan untuk menghapus nama masyarakat berdasarkan tanggapan masyarakat.
Padahal, KPU seharusnya dapat menyatakan partai yang terbukti melakukan pencatutan nama warga, tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai parpol peserta pemilu.
Selain itu, KPU juga dapat merekomendasikan agar partai yang bersangkutan menghapus nama warga yang dicatut dari Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), yakni platform yang disediakan KPU RI untuk proses pendaftaran peserta Pemilu 2024.
Di sisi lain, JPPR menilai, Bawaslu seharusnya menindaklanjuti temuan yang didapat dari posko aduannya.
Tindak lanjut yang tegas dapat dilakukan dengan penegakan hukum pidana pemilu jika KPU tidak menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu untuk memulihkan nama-nama yang dicatut.
Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 518 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu yang menyebutkan, "Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, dan/atau KPU Kab/Kota yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (3) dan/atau pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kab/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (3) dan Pasal 261 ayat (3) dan/atau pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)."
Meskipun dalam hal ini Bawaslu tidak memiliki kekuatan untuk menanggulangi pencatutan identitas tersebut, baik dari sisi regulasi maupun konsolidasi kepada pihak-pihak terkait.
Dalam tahapan verifikasi faktual, JPPR memantau proses verifikasi faktual kepengurusan dan keanggotaan partai politik yang dilakukan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.